Tiga.
Dua hari
ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar.
Beberapa kali, bahkan aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit.
Sae terus
saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam,
dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api.
Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.
Sae
percaya, bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua
semangat yang Sae berikan, membuatku semakin termotivasi. Meski, itu tidak
membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.
Hari ini,
aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba
sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali
aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil
memperagakan gerakan yang ada dalam naskah. Dentum dari langkah kaki murid yang
berlalu-lalang di teras kantin membuat fokusku buyar beberapa kali. Belum lagi
cekikikan anak gadis di ujung kantin dekat dengan tiang kolom warna hijau.
Mereka menggangu!
Saat aku
mencoba untuk kembali fokus dari semua keributan yang ada, tiba-tiba saja
ponselku berbunyi. Line-ku berkedip. Sambil masih menghafal satu-dua kata, aku
mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu bercat hijau untuk
kuperiksa Line-ku. Dengan perasaan menggebu, aku berharap yang mengirimiku
pesan adalah Sae. Di saat-saat seperti ini, pesan darinya adalah sebuah moodbooster.
Nyatanya,
harapanku tidak berujung manis. Orang yang mengirim line itu adalah ibuku. Dia
bilang, akan datang saat lomba diadakan. Tidak langsung kubalas pesan itu,
hanya diam termenung sambil memikirkan sesuatu. Aku pikir, ibu atau pun ayah
tak pernah kuberitahu soal lomba ini!?
“Adis,
buruan, masuk!” Seseorang membuyarkan semua teka-teki yang baru saja terrangkai
di otakku. Aku menoleh ke asal suara, dan di ujung pintu masuk kantin, ada
Arrani yang sudah berdiri dengan kedua tangan di taruh di pinggang.
Gadis itu
selalu saja memiliki aura menyeramkan. Entah mengapa, meski dia menggunakan
hijab yang membuat sebagian wanita terlihat sejuk dan menenangkan, justru malah
membuat Arrani terlihat memiliki aura aneh serta menyeramkan. Matanya melotot.
“Iya. Aku
datang.” Aku memasukan ponsel tanpa membalas pesan ibu, kemudian berlari
menghampiri Arrani. Sesampainya di hadapan gadis paras cantik berhati iblis
itu, kemudian ia menyerahkan nomor urut untukku. Katanya, perwakilan kelas
sudah melakukan runding untuk urutan tampil. Tapi karen aku tidak ada, jadi dia
yang menggantikanku.
“Nomor
lima? Baguslah. Nggak terlalu cepet dan nggak terlalu lama juga,” kataku sambil
menerima nomor itu darinya. Dia sempat berpesan jangan terlalu gerogi, cukup
bersikap seperti saat latihan dan biarkan semuanya mengalir alami. Aku
mengangguk lalu melenggang meninggalkannya.
“Ingat soal
hukuman!” teriaknya lagi. Aku tidak peduli.
Ketika aku sampai di belakang panggung,
ternyata sudah banyak orang juga. Mereka membawa selembaran kertas, sama
sepertiku. Kebanyakan yang ikut adalah perempuan. Hanya ada dua peserta lelaki
selain aku. Di ujung ruangan, tepat di samping tumpukan steropom, lelaki
bertubuh gendut sedang asyik membaca naskah di tangannya, sementara lelaki
lainnya-yang memakai kacamata- sedang berbincang dengan salah satu gadis di
belakang layar.
Aku
melenggang memasuki area, untuk lebih dekat ke belakang panggung. Sesampainya
di sebuah bangku panjang terbuat dari kayu, aku mulai duduk. Tak lama, lelaki
gendut tadi melenggang ke arahku, mendekati layar.
“Tegang,”
ucapnya. Aku hanya mengangguk diiringi senyuman canggung.
Tak
berselang lama, suara dari kepala sekolah terdengar. Dia menyampaikan beberapa
sambutan dan, pembukaan. Aku tidak terlalu mendengarkan. Batinku bilang,
fokuslah untuk berlatih. Aku pun mulai mengeluarkan naskah yang sempat kulipat
dan dimasukan ke saku untuk kubaca ulang. Hari ini aku harus menang demi Sae.
Jika ingat
soal Sae, otomatis saja, semua terasa menjadi menggebu. Aku selalu dibuat
deg-degan sendiri hanya dengan menyebut namanya saja. Apalagi, kalau sampai dia
datang ke perlombaan ini dan menyemangati langsung, seperti yang biasa dia
lakukan dua hari ini.
Aku menaruh
kertas yang sedang kuhafalkan, lantas merogoh saku untuk mencari ponselku. Aku
memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Sekaligus, mengurangi semua
ketegangan yang sedari tadi menghinggapiku.
“Sae,” kataku
dalam pesan, lantas kukirim, diikuti sebuah stiker melambaikan lima jari.
Tidak
memakan waktu sampai satu menit, dia membalas pesanku diawali stiker beruang
yang kepalanya penuh dengan tanda tanya, baru kemudian dia menanyakan kenapa
aku mengirimi pesan.
Sebenarnya,
aku tidak usah mengirim pesan pada Sae di saat seperti ini. Tapi, aku selalu
gugup dan gerogi bahkan sebelum semua ini dimulai. Ketika aku bisa berbicara
dengan Sae, meski hanya lewat Line, itu sudah membuatku sedikit lebih baik.
“Kamu
datang?”
“Agak telat. Kamu urutan ke berapa?”
“Dapat
nomor lima. Masih keburu kayaknya. Kamu di mana?”
“Bentar lagi sampe. Aku lagi dapet
masalah. Banku bocor.”
Ketika
membaca pesan itu, aku sedikit terkejut dan, membuatku agak down. Aku
langsung berpikir jika dia tidak akan bisa sampai tepat waktu sebelum aku
tampil nanti.
“Yaudah,
aku tunggu. Harus datang!”
“Oke.”
Setelah
itu, aku kembali menutup ponsel. Membaca lagi naskah pidato dan menghafal
semuanya agar acaranya lancar seperti yang kuharapkan.
**
Peserta
yang sudah tampil di urutan sebelum aku, menampilkan semua pidatonya dengan
baik. Bahkan, hampir semuanya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Di
depan sana, ada seorang gadis dari jurusan IPS 4 yang sedang membacakan
pidatonya. Aku mengintip dari balik layar panggung. Dia terlihat sangat lihai
dan menikmati pidato yang dibawakannya.
Seketika
saja, rasa gerogi menghinggapiku lagi. Keringat dingin mulai keluar di seluruh
tubuh. Aku merasakan sakit perut tiba-tiba. Padahal, bagianku saja belum
dimulai, tapi aku sudah ciut duluan.
Saat aku
menatapi peserta nomor empat di depanku itu, tiba-tiba saja aku teringat ucapan
Sae sehari yang lalu, saat kami berada di depan lapangan. Dia memberitahuku,
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saat itu, hari sudah semakin sore, aku dan
Sae memutuskan untuk lebih lama berada di sekolah sambil berlatih naskah
pidatoku.
Sore itu,
hanya ada aku dan Sae di depan lapangan voli yang biasa digunakan untuk
pertandingan antar kelas. Sae duduk di kursi kayu warna hijau, tepat di bawah
pohon mangga sambil memerhatikan, sementara aku berdiri di dekat tiang net sembari
meneriakkan pidato tanpa kertas naskah itu dengan lantang.
Semburat
jingga sukses menyinari tubuhku dari arah barat. Aku bisa melihat Sae tersenyum
sambil masih mengangkat dua jempolnya ke arahku. Aku tahu dia memujiku, padahal
pada kenyataanya, aku masih terus saja salah saat membaca pidato bahasa Inggris
ini.
Ketika aku
benar-benar merasa tidak sanggup untuk menghafal semuanya, dan bilang pada Sae
untuk menghentikan semua kegiatan ini, lantas pemuda itu bangkit dari duduknya
dan berlari menghampiriku.
Dia
terlihat marah dan meraih menunjukan kertas pidato di tangannya padaku.
Aku bilang,
bahasa Inggris terlalu sulit untuk kuhafalkan. Dia lantas melipat kertas di
tangannya, kemudian menaruh kedua tangan di bahuku. Kami saling tatap. Aku yang
merasa payah dan malu dengan kemampuan diri sendiri, juga merasa telah menodai
kepercayaan Sae padaku, hanya bisa menolehkan pandangan ke arah lain tanpa
berani menatap kedua bola matanya langsung.
“Denger,
Adis! Ini adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang harus kamu
selesaikan. Apa kamu mau lari dari semua ini? Orang-orang percaya sama kamu,”
katanya, sembari masih memegangi bahuku. Aku masih tak berani menatap kedua
bola matanya.
“Kamu juga
udah berjanji sama aku untuk menang lomba. Terus, kamu mau jadi pecundang dan
lari dari semua tanggung jawab?” Dia lalu mengarahkan tangannya untuk meraih
pipiku dan memosisikan wajahku untuk lurus menatapnya. Aku yang diperlakukan
seperti itu hanya bisa mengigit bibir sambil memberanikan diri menatapnya.
“Aku nggak
sehebat kamu, Sae. Aku nggak seberani kamu. Pidato ini nggak bisa aku
selesaikan!”
“Nggak ada
yang nggak bisa selama kamu mau berlatih dan terus berusaha.”
“Buktinya,
aku nggak bisa hafalin semua ini dengan benar.” Aku kembali membuang pandangan
ke sisi lain. Sae berusaha lagi mengembalikan tatapanku untuk saling berhadapan
dengannya.
“Kamu bisa!
Aku tahu itu. Kalau kamu nggak bisa, nggak mungkin kamu akan berdiri di sini
dan bacain naskah pidato ini kayak tadi tanpa nyontek. Aku tahu kamu bisa,”
tegasnya sambil menguatkan pegangan tangan di pipiku. Sorot mata Sae
menyalurkan semacam aura aneh yang membuatku sedikit nyaman di bawah
ketidakmampuan yang aku rasakan.
“Tapi,
Sae....”
“Kita udah
sama-sama berjanji. Kamu harus menepatinya,” katanya lagi dengan tatapan penuh penegasan. Aku yang tak bisa apa-apa
hanya menatapnya dengan terus menggigit bibir bawah. Sebentar kemudian, aku
mengangguk.
Aku
mengembuskan napas berat untuk membuat diriku setenang mungkin menghadapi
situasi sekarang. Untuk kedua kalinya, sakit perut itu muncul. Beberapa kali
aku memejamkan mata sambil terus mengatur napas agar merasa rileks.
Di saat
embusan terakhirku habis, saat itulah tepuk tangan dari semua orang yang hadir
di acara lomba ini terdengar, membuat
suasana yang tadinya hening karena semuanya menikmati acara menjadi ramai.
Aku
mengintip lagi dari balik tirai, sambil menatapi satu per satu orang yang
datang. Dari bangku urutan kedua, di posisi sebelah kanan tempat di mana semua
orangtua hadir, ada ibuku yang masih sibuk bermain ponsel. Dia benar-benar
datang.
Tapi, aku
tidak bisa melihat di mana Sae. Apa mungkin ban motornya masih belum selesai
diperbaiki?
Saking
seriusnya mencari di mana Sae duduk, sampai-sampai aku tidak sadar jika peserta
nomor empat sudah keluar dari balik tirai. Dia sempat menabrakku yang masih
duduk anteng mengintip.
“Eh, ada
orang?” Dia agak mundur sedikit setelah tahu menabrak seseorang. Aku kemudian
sadar dan mundur. Sebentar kemudian, gadis itu keluar dari balik tirai.
“Kamu ngak
apa-apa?” tanya lelaki tambun yang tadi duduk di kursi kayu itu. Aku yang
berdiri di dekatnya hanya menoleh lantas mengangguk.
“Semangat,
ya?” ucap gadis bernomor urut empat padaku. Aku menatapnya, lalu mengangguk
diiringi senyum.
**
Tepuk
tangan bergemuruh ketika aku masuk melewati tirai. Semua orang terlihat
antusias ketika mereka melihatku memasuki panggung. Aku tidak tahu apa
alasannya, tapi ini benar-benar membuatku kembali merasa gerogi. Tegang.
Dari ujung
barisan, di dekat pintu aula depan, di bawah pengeras suara, ada anak-anak dari
jurusanku. Di sana mereka berteriak sambil menyebut namaku keras-keras. Ada
Arrani juga yang berdiri dengan kedua tangan ditaruh di depan dada. Dia
tersenyum. Kali ini, senyumya manis dan sedikit membuatku tenang.
Aku
melangkah perlahan tapi pasti menuju standing mix sambil terus berusaha
untuk tenang. Setelah posisiku mantap, aku berdiri tegap dengan tatapan lurus
ke depan. Menyaksikan semua orang yang duduk di hadapanku.
Aku sempat
memerhatikan keadaan sekitar. Aula ini terlihat lebih sempit dari biasanya.
Entah karena banyaknya orang yang memenuhi ruangan;membuat ruangan sebesar ini
menjadi terlihat lebih kecil, atau memang kapasitas aula yang tidak bisa
menampung orang sebanyak ini.
Kualihkan
pandangan dari orang-orang yang hadir ke deretan foto yang terpasang rapi di
dinding. Di sana, terpampang semua gambar siswa berprestasi yang sempat
mengharumkan nama sekolahan. Di deretan foto itu juga, aku bisa melihat Sae
sedang tersenyum dengan sebuah piala di tangannya. Dia menjadi perwakilan
sekolah waktu itu.
Melihat hal itu, aku jadi teringat pada Sae
yang masih belum juga aku lihat sedari tadi. Kontan saja, yang kucari sekarang
adalah dia. Mataku memindai satu per satu orang yang ada. Mereka menatapku
heran. Mungkin, lebih tepatnya, mempertanyakan tentang tindakanku yang masih
belum juga membuka salam.
Saat aku
masih sibuk mencari, seorang MC berdeham pelan. Aku tersadar, lantas menoleh.
Aku
berdeham pelan sambil memosisikan mix di depanku agar lebih nyaman
digunakan. Setelah semuanya merasa siap, juri-juri yang duduk berbaris di
bagian paling depan mempersilakanku sambil memencet sebuah tombol pada sebuah
kotak berupa benda penghitung waktu.
Ludahku
meluncur cepat ke tenggorokan.
“Go---good
Morning, all.”
Semua orang
serempak menjawab. Di samping Arrani, ada satu orang yang terus mengacungkan
kepalan tangan ke arahku. Dia melotot sejadinya dengan tatapan mengancam. Tak
mau menanggapi lelaki aneh itu, kemudian aku kembali fokus pada pidato.
Aku sempat
menggeleng pelan, mencoba fokus mengucapkan salam pembukaan. Setelahnya,
kuembuskan napas perlahan sampai merasa lega. Belum apa-apa, aku sudah
kehilangan fokus. Melihat semua tatapan penonton, sukses membuat nyaliku
terkikis.
Honorable
ones; the principle of, of....
Kakiku
bergetar.
Aku memejamkan mata, mengingat kata apa lagi
yang akan kuucapkan setelahnya. Awalnya, semua orang terdiam ketika aku mulai
gugup. Sebentar kemudian, mulai memberikan tepuk tangan. Mereka meneriaki
namaku. Kontan saja, aula ini menjadi ramai oleh suara tepuk tangan. Hal itu
justru memperburuk keadaan.
Pejamku
semakin kuat ketika gerogi semakin menggelayuti seluruh tubuhku. Pikiranku
berkecambuk. Aku mengingat banyak hal saat ini. Mengingat tentang kegagalan. Mengingat
tentang semua orang yang datang. Mengingat semua harapan yang teman-teman
gantungkan padaku. Juga, mengingat tentang ... Sae!
“And all
my friends in XII, X and XI grade”
“First of all, let ussss... Peeeraise to the Almighty God, because of His Blessing weeeee.... We are able to gather here, to attend a farewell ceremony for the students of SMA Angkasa, XII grade in academic year 2017-2018.
“First of all, let ussss... Peeeraise to the Almighty God, because of His Blessing weeeee.... We are able to gather here, to attend a farewell ceremony for the students of SMA Angkasa, XII grade in academic year 2017-2018.
Aku
hampir saja salah menyebutkan nama sekolahku. Dalam pejam yang ke sekian kali,
aku kembali menggali kalimat apa yang akan diucapkan selanjutnya.
“My
friends, in ... in---in... this good opportunity, I stand here to resep---represent
all the students of SMA Angkasa. Grade XII to give a valedictory speech.”
Di hitungan dua detik setelah mengutarakan kalimat
tersebut, aku membuka mata, lantas mulai menoleh ke deretan foto yang ada di
dinding aula. Satu foto yang menjadi fokus utamaku adalah milik lelaki bernama
Saelandra. Dia tersenyum ke arahku. Tersenyum lewat foto.
“On the behalf of all students XI grade.”
“There are so many things ttt---that that that that I i i i want to say here to express ho ho how thankful we are. I can't i can’t i ican’t find a word to express this tears of joy of...” Tanganku mengepal erat, merutuki diriku sendiri. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Ayolah, Adis, tenang!
“On the behalf of all students XI grade.”
“There are so many things ttt---that that that that I i i i want to say here to express ho ho how thankful we are. I can't i can’t i ican’t find a word to express this tears of joy of...” Tanganku mengepal erat, merutuki diriku sendiri. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Ayolah, Adis, tenang!
“... remembering all mem... mee.... memories that we have been through
during this past three years. All we wwa---ant to say is we are proud to belong
here, to study here and to meet all great teachers that we have ever met.”
Tubuhku
sudah dikuasai gerogi. Gugup. Tubuhku, bergetar lagi.
Semua
kata-kata yang kuucapkan tadi, mengingatkanku pada perjuangan Sae yang sudah
meluangkan waktunya untukku dua hari ini. Sae yang dengan semua ketegasannya,
membimbingku untuk terus berjuang, memberikan semua yang kupunya untuk pidato
ini. Sae juga, yang sudah memberikanku harapan, ketika aku sudah tidak mau
memperjuangkan lagi pidato Bahasa Inggris ini.
Mataku
masih jelalatan mencari keberadaan pemuda beraroma bayi itu. Tapi, kenapa, di
saat semua yang sudah kupersiapkan untuk hari ini, dia malah tidak datang. Sae
tidak hadir di saat aku tampil untuknya?
Fokusku
buyar. Aku tidak bisa menjaga konsentrasi. Diriku yang paling dalam hanya
menginginkan satu hal, yaitu Sae. Kehadirannya, adalah satu-satunya yang
kuinginkan.
Jika, semua
yang aku siapkan untuk dirinya selama dua hari ini tak dapat Sae lihat, untuk
apa aku terus berjuang? Toh, di awal saja aku sudah merasa putus asa.
Satu-satunya tujuanku untuk memang adalah demi Sae. Jika dia tidak datang,
masih bisakah aku berjuang?
Aku
mematung di tempat. Lidahku seakan kelu. Otakku tak mampu lagi menggali kata
apa yang akan kuucapkan selanjutnya. Suasana terasa canggung. Atmosfer yang
tidak mengenakan ini menyebar ke seluruh ruangan. Semua orang yang tadi sempat
bertepuk tangan, kini mulai cengo, termasuk Ibu.
Aku masih
diam. Kedua bola mataku bisa melihat Ibu yang sedang duduk dengan tatapan penuh
tanda tanya. Jika saja aku bisa paham apa yang dia pancarkan dari raut
wajahnya, mungkin akan seperti ini, Kamu kenapa Adis? Lanjutkan pidatonya!
“We would like to ssss---say th---th---thank you vvvvvvery much for all
the tttt---teachers....”
“We ...
W....”
Aku
mengacak rambut. Dari ekor mataku, dapat kulihat salah satu juri masih menaruh
satu tangannya di atas benda penghitung waktu. Waktu yang tersisa tinggal dua
menit lagi, dan aku baru saja mengucapkan seperempat isi dari pidato yang Sae
tulis.
Semua juri
saling pandang, mereka sepertinya tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.
Waktu lima
menitku terbuang sia-sia.
Berbagai
ingatan kembali berputar di kepalaku. Aku memejamkan mata, dengan tangan yang
terus bergetar. Tubuhku menggigil. Seluruh kulit terasa dingin dan dipenuhi
keringat. Telingaku terasa menangkap bunyi jarum penghitung waktu itu semakin
berdengung. Makin keras sampai aku merasa dikelilingi oleh semua hal
mengerikan.
Aula yang
kudiami terasa berubah menjadi bangunan lenjong. Semua orang yang hadir seakan
menatapku dengan wajah mengejek, termasuk tatapan ibu yang terlihat
menyeramkan. Aku bersikeras untuk mengingat. Menggali semua ingatan saat
latihan bersama Sae. Berusaha menggali semua kenangan manis yang bisa kujadikan
obat di saat seperti ini.
Bunyi
jantungku semakin keras. Detak jantungnya terasa terpompa lebih cepat. Aku
kaget sejadinya ketika sebuah suara terdengar membuyarkan semua rasa takut yang
mengelilingi.
“Ananda
Adis, saudara tidak apa-apa?” tanya MC padaku. Wanita berpakaian formal serba
hitam itu menatapku sedikit khawatir. Keadaan lengang. Tak ada satu suara pun
yang kutangkap selain bunyi jantung yang makin terpompa kencang.
Aku tidak
tahu harus apa sekarang. Semuanya sudah terjadi. Untuk mundur saja, aku tidak
bisa. Jika pun aku kembali sekarang, semua orang akan mengingatku sebagai orang
yang gagal dalam pidato. Tapi, jika aku masih bersikeras untuk melanjutkan, aku
tidak tahu, apa yang harus kuucapkan. Aku sudah sepenuhnya lupa dengan
naskahku.
Pada
kenyataanya, berbicara di depan orang itu bukan saja sekadar hafal apa yang
harus dibawakan. Tapi juga harus mempersiapkan semua aspek yang lain. Mengasah
kekuatan mental misalnya. Dua hari ini aku terlalu fokus untuk bisa menghafal
naskah pidato, tanpa sadar jika kesiapan mental sama pentingnya dengan hafalan
naskah.
Aku
mematung.
“Sa---Sa....” Aku gugup. Mataku masih menoleh pada orang-orang di depan.
Kulihat waktu yang tersisa tinggal empat puluh detik.
“Say---Sa...,”
Aku menoleh pada wanita itu sambil menelan ludah.
Sangat
sulit untuk mengucapkan, saya sudah tidak bisa lagi melanjutkannya.
Hanya itu saja. Itu terlalu sulit untuk diutarakan. Entah apa yang mengganguku
kali ini.
Wanita
berpakaian formal itu menautkan kedua alis matanya. Dia menatapku dengan penuh
tanda tanya, sementara aku masih berusaha untuk bilang, kalau aku sudah
menyerah. Wanita itu kemudian menoleh pada juri yang duduk di bawah panggung.
Dia meminta pendapat soal keputusan selanjutnya.
Salah satu
juri mengangkat tangan. Kontan saja itu membuatku terkejut sejadinya. Tindakan
itu membuat jantungku kembali terpompa. Aku siap dinyatakan gagal!
Ludah
dengan cepat meluncur lagi. Kutarik standing mix dan kucoba utarakan
lagi.
“Sa...” Di
saat aku benar-benar akan mengucapkannya, dengan tanpa sengaja, mataku menoleh
ke arah pintu masuk aula bagian depan, tepat di mana semua teman-temanku duduk.
Di sana, aku melihat sosok pemuda yang baru saja datang dengan napas yang masih
sesenggal. Dia berdiri dengan dada yang naik turun.
Napasnya
berderu sambil menatap ke arahku. Setelah menelan ludahnya dengan kasar, dia
kemudian menarik napas cukup panjang dan, dalam hitungan ke sekian detik, dia
meneriakkan namaku dengan keras. Dia memberiku kalimat yang sedari tadi
kutunggu-tunggu, Adis, aku datang untuk semua kerja kerasmu. Berjuang! Aku
tahu kamu bisa!
Semua orang yang mendengar itu sontak saja menoleh
serempak ke asal suara. Aku yang senang dengan kehadirannya, lalu tersenyum
sambil menggigit bibir bawahku. Rasa senangku benar-benar tak terbendung kali
ini.
“Sae,”
teriakku, melanjutkan ucapan sebelumnya yang sempat tertunda. Yang pada
kenyataanya, bukan kata itulah yang seharusnya keluar dari mulutku.
Dia mengangkat
satu tangannya yang mengepal, memberi tanda bahwa dia datang untukku. Bibirnya
merekah lebar. Aku bisa melihat aliran semangat yang Sae pancarkan dari raut
mukanya.
Tanpa
membuang waktu lagi, kutarik kembali standing mix dan siap kembali
memulai pidato. Tapi, ketika aku baru saja akan memulai, salah satu juri
mengangkat kedua tangan di depan wajahnya dengan membentuk pola X, yang artinya
waktuku untuk berpidato sudah habis.
Sialan!
No comments:
Post a Comment