Tak siapapun orang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Satu
minggu, satu bulan, satu tahun, atau bahkan satu detik kemudian adalah misteri.
Begitu juga dengan apa yang terjadi padaku. Aku tak pernah tahu bahwa
aku akan mengenalmu. Tak pernah menyangka aku akan masuk ke dalam hidupmu. Tak
pernah sekali pun terpikirkan bahwa pada akhirnya, kau adalah milikku.
**
Satu.
Aku
mengerjap dua kali. Mulutku membulat. Cengo! Aku tidak percaya dengan apa yang
baru saja kudengar. Gawat! Ini bahaya.
Ada dua
gadis berhijab yang sedang berdiri di depanku. Salah satunya memegang sebuah
kertas formulir. Awalnya aku tak begitu tertarik untuk mengajak mereka
mengobrol atau sekadar menyapa “Hai”. Tapi nyatanya, kedatangan mereka padaku
lebih daripada itu bahkan sukses memaksaku untuk mengutarakan semuanya, lebih
dari sekadar sebuah sapaan. Gadis berhijab itu mengatakan bahwa aku baru saja
diikutsertakan dalam lomba.
“Kok bisa,
sih main pilih aja?” kataku kesal. Aku memarahi dua gadis yang sedang berdiri
di depanku. Salah satu dari mereka menunjukan secarik kertas formulir yang di
dalamnya terdapat namaku.
“Nggak ada
pilihan lagi, Adis. Kamu mau, ya kelas kita dihukum?” kata salah satu gadis
hijab warna merah, sambil menyerahkan formulirnya padaku.
“Tapi, kan
nggak dadakan kayak gini juga. Kalian bahkan nggak nanya pendapatku dulu,”
ucapku agak emosi.
“Ya itu,
sih risiko kamu, ya! Aku juga udah ngasih tahu sama semua orang. Tapi, semuanya
ngusulin kamu. Lagiankan lombanya cuma pidato Bahasa Inggris. Kamu pasti bisa.
Oke?” Gadis bernama Arrani itu menepuk pundak sambil melenggang meninggalkanku.
Satu gadis lainnya tersenyum, lantas mengikutinya di belakang.
“Ohya,
kalau kamu sampai kalah, akan ada hukuman dari anak-anak kelas buatmu.” Dia
tersenyum seperti iblis. Aku melongo sambil melihat dirinya yang kini berjalan
memasuki area guru.
Bencana!
Ini benar-benar bencana. Apa yang harus kulakukan?
Lomba? Yang
benar saja!!
Aku tahu
sekolah sedang mengadakan acara tahunan di akhir ajaran sekolah. Beberapa kelas
mengajukan perwakilan untuk mengikuti setiap lomba yang diadakan. Salah satunya
ya, lomba pidato Bahasa Inggris itu. Tapi ini ... Mengejutkan! Aku bahkan tidak
berniat untuk ikut lomba ini. Tidak sama sekali.
Adiysta
Adelio Cetta! Nama itu terpampang jelas di formulir. Lomba Bahasa Inggris?
Ohh!!
Aku menepuk
jidatku sendiri karena rasa pusing begitu saja hinggap di kepala. Tiba-tiba aku
merasa mumet sendiri. Lombanya saja belum dimulai, kan?
Aku
buru-buru merogoh saku celana, mencari benda pipih di sana dan berusaha
menghubungi salah satu temanku. Di saat-saat seperti ini, hanya dia yang bisa
kumintai bantuan.
Setelah
mengetikkan namanya di buku telepon, kemudian kutekan tombol hijau. Sambungan
berdering, lantas berubah jadi menghubungkan, beberapa detik kemudian orang
itu mengangkat sambungannya.
“Ya, Dis,
ada apa?” tanyanya langsung.
“Aku butuh
bantuanmu. Bisa datang ke kantin sekarang juga?” kataku langsung ke intinya.
Dia berdeham sekali, kemudian menjawab iya. Aku mengangguk, lantas menutup
sambungan dan bergegas menuju kantin sekarang juga.
**
Di saat-saat
seperti ini, sekolah memang tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa anak yang
ikut dalam lomba dan mereka yang menjadi penonton saja. Sisanya? Entahlah,
mereka mungkin memilih untuk tidur di rumah ketimbang harus ikut
bersorak-sorak, menghabiskan suara!
Harusnya aku
jadi salah satu dari anak yang tidak datang ke sekolah pagi ini. Tapi karena
ada perbaikan nilai yang harus kuselesaikan, mau tidak mau aku harus datang ke
sekolah ini lagi. Nahasnya, nasib baik itu tak juga datang, bahkan nasib buruk
yang terus-terusan datang padaku. Pertama, aku harus menyelesaikan tiga mata
pelajaran yang nilainya masih jauh di bawah KKM, kedua adalah aku mendapat
kabar bahwa diriku diikutsertakan dalam lomba Bahasa Inggris! Dan hal buruk
ketiga adalah akan ada hukuman jika aku kalah dalam lomba. Hey! Kalian
menentukan seenaknya!
Sebelum
pergi ke kantin, aku menyempatkan untuk ke kamar mandi. Aku harus merapikan
penampilanku dulu yang acak-acakan. Semalam aku begadang, dan mataku terlihat
menghitam, juga wajahku yang berminyak akan membuat orang itu merasa ilfeel.
Dan aku tidak mau hal itu terjadi.
Setelah
sampai di kamar mandi, aku hanya membasuh wajahku agar terlihat lebih segar,
setidaknya tidak seperti orang yang tidak mandi. Kelopak mataku terlihat kecil
dan hitam. Pipiku akhir-akhir ini semakin melebar. Aku chubby!
Ayolah,
Adis, kau masih kalah jauh jika ingin bersanding dengan orang itu. Kau
perlu setidaknya dua puluh lima kali perawatan wajah dan berendam di kolam susu
selama satu bulan agar bisa dikatakan seimbang dengannya.
Wajahmu itu
kumal! Jerawatan! Hitam! Sedangkan dia ... Dia istimewa.
“Aku pikir
kamu nggak bakal ke Sekolah, Dis?” katanya sambil duduk di kursi saat kami
sudah berada di kantin. Dia baru saja datang beberapa saat lalu. Aku yang lebih
dulu sampai di kantin.
“Kalau aku
jadi kamu, aku juga nggak bakal datang ke sini, Sae. Kamu nggak tahu gimana
rasanya jadi aku yang low brain ini,” keluhku sambil terkekeh geli. Dia
menggeleng, lalu tersenyum tipis.
“Remedial?”
tanyanya sambil menaikan alis mata, keningnya berkerut. Aku mengangguk. Dia
tertawa setelahnya.
“Kan udah
aku bilang, kalau aku jadi kamu, aku nggak bakal datang ke sini.”
“Kamu aja
yang nggak tahu. Aku juga ada, kok yang diremedial. Mungkin menurutmu ini nggak
masuk ke dalam hitungan remedial. Tapi bagiku nilai di bawah sembilan itu harus
diperbaiki. Dua mata pelajaranku dapat nilai delapan puluh lima. Dan itu harus
diremedial.” Dia mengembuskan napas pelan setelah panjang lebar bercerita.
Aku hanya
mengangguk mengiyakan ucapannya. Aku tidak tahu harus bagaimana merespon. Sae
itu sempurna. Dia tampan, cerdas, juga baik hati. Prestasinya segudang.
Dibandingkan denganku yang buluk dan kumal ini, aku tidak ada apa-apanya. Kami
jelas-jelas jauh berbeda.
Dia bagai
piala emas yang ditaruh dalam kotak kaca dan diletakan di lemari, sedangkan aku
hanya celana dalam yang diletakan di atas karung ampar di pinggir jalan. Tapi
meski begitu, kami menjadi sahabat yang dekat. Aku tidak tahu mengapa seorang
Arsenio Saelandra Bahari mau berteman dengaku.
Selain
prestasinya yang ada di sekolah, dia juga sering mendapat berbagai penghargaan
di luar sekolah. Sae juga ikut acara semacam bimbingan belajar. Kedua
orangtuanya rela menghabiskan jutaan rupiah agar anaknya bisa mendapat
pendidikan yang layak! Hey! Itu jauh lebih dari kata layak! Sangat layak!
“Jadi apa
yang bisa aku bantu?” katanya sambil mengembangkan senyum. Kedua tangannya di
taruh di meja. Dua matanya membulat sempurna ketika dia tersenyum. Bibirnya
tebal, namun mungil, sangat cocok dengan wajahnya yang bulat. Rambut dengan
tekstur ijuk, namun halus terlihat merah karena terlalu banyak terpapar sinar
matahari.
“Kelas kita
ikut lomba pidato.”
“Ya. Terus?
Bagus, kan?”
“Memang
bagus jika dilihat dari sisi lain. Tapi jika dilihat dari sudut pandangku itu
nggak bagus sama sekali.” Aku menggerutu kesal.
“Jangan
bilang kamu yang jadi perwakilannya?” tebak Sae sambil mulai tertawa. Satu
telunjuknya terarah padaku.
“Karena
itulah aku manggil kamu ke sini.”
“Aku harus
apa?”
“Bantu
aku!”
“Caranya?”
“Bantu
buatkan aku pidato Bahasa Inggris!”
Dia tak
menjawab. Wajahnya terlihat serius berpikir, dua bola matanya terarah ke atas.
Bibir mungil itu manyun, sebentar kemudian tertarik ke sisi kanan dan kiri, dia
tersenyum.
“Baik. Akan
kubantu. Kapan lombanya?”
“Dua hari
lagi.” Aku menunjukan formulir yang tadi Arrani berikan padaku.
“Masih ada
waktu. Itu cukup.”
“Kamu kapan
bisa bikinya?” tanyaku memastikan.
“Kok aku
yang bikin?”
“Katanya
mau bantu?”
“Kalau aku
yang bikin, artinya aku bikinkan, bukan aku bantu. Kalau aku bilang bantu, ya
kamu yang bikin, Adis.” Dia tertawa.
“Kok gitu?”
“Yang lomba
kan, kamu?”
Aku
mendengus sebal. Jelas! Aku kalah telak. Skak matt.
Aku dan Sae
sudah seperti kakak-adik yang tidak bisa dipisahkan. Kami selalu kompak dalam
segala hal. Maksudku, apa yang Sae lakukan, pasti aku juga melakukannya.
Beberapa orang bahkan menganggap kami memang saudara.
Dia orang
yang selalu membantuku dalam kondisi apapun. Jika Sae sedang dalam masalah, aku
juga dengan senang hati ada di sisinya untuk membantu. Sifat baik hatinya sudah
ada sejak dia masih kecil. Didikan kedua orangtuanya yang berbudi luhur juga
menjunjung tinggi kesopanan menjadikan Sae pribadi yang tahu sopan santun.
Menjadi anak
bungsu dan satu-satunya lelaki di antara saudarinya menjadikannya anak paling
disayang. Semua yang Sae inginkan selalu dituruti. Tapi hal itu tak lantas
membuatnya menjadi manja.
Aku tahu,
apa yang dilakukan kedua orangtuanya adalah, demi masa depan Sae. Demi
kebaikannya nanti. Ayahnya rela menghabiskan uang banyak hanya agar anak
lelakinya itu bisa sekolah dan masuk di perguruan tinggi.
Awal aku
bertemu dengannya saat itu sedang masa pendaftaran siswa baru. Saat itu kami
berada dalam ruangan yang sama. Aku masih ingat, Sae diantar oleh ayahnya untuk
mengikuti testing.
“Remedialmu
sudah, kan?” tanya Sae membuyarkan semua lamunanku. Aku mengerjap, menatap dua
maniknya yang berbinar.
“Ah, iya.
Aku juga udah mau balik.”
“Anter aku
bimbel ke Bintaro, yuk!”
“Langsung
apa mau balik dulu? Aku, sih ikut aja.”
“Aku simpen
motor dulu, deh, ya?”
“OK.” Aku
mengangguk sambil mengacungkan jempol. Sae tersenyum.
No comments:
Post a Comment