I Saed Lupyu [Bagian Tiga]


Tiga.

     Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali, bahkan aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit.

     Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.

     Sae percaya, bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan, membuatku semakin termotivasi. Meski, itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.

     Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah. Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di teras kantin membuat fokusku buyar beberapa kali. Belum lagi cekikikan anak gadis di ujung kantin dekat dengan tiang kolom warna hijau. Mereka menggangu!

      Saat aku mencoba untuk kembali fokus dari semua keributan yang ada, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Line-ku berkedip. Sambil masih menghafal satu-dua kata, aku mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu bercat hijau untuk kuperiksa Line-ku. Dengan perasaan menggebu, aku berharap yang mengirimiku pesan adalah Sae. Di saat-saat seperti ini, pesan darinya adalah sebuah moodbooster.

      Nyatanya, harapanku tidak berujung manis. Orang yang mengirim line itu adalah ibuku. Dia bilang, akan datang saat lomba diadakan. Tidak langsung kubalas pesan itu, hanya diam termenung sambil memikirkan sesuatu. Aku pikir, ibu atau pun ayah tak pernah kuberitahu soal lomba ini!?

     “Adis, buruan, masuk!” Seseorang membuyarkan semua teka-teki yang baru saja terrangkai di otakku. Aku menoleh ke asal suara, dan di ujung pintu masuk kantin, ada Arrani yang sudah berdiri dengan kedua tangan di taruh di pinggang.

     Gadis itu selalu saja memiliki aura menyeramkan. Entah mengapa, meski dia menggunakan hijab yang membuat sebagian wanita terlihat sejuk dan menenangkan, justru malah membuat Arrani terlihat memiliki aura aneh serta menyeramkan. Matanya melotot.

     “Iya. Aku datang.” Aku memasukan ponsel tanpa membalas pesan ibu, kemudian berlari menghampiri Arrani. Sesampainya di hadapan gadis paras cantik berhati iblis itu, kemudian ia menyerahkan nomor urut untukku. Katanya, perwakilan kelas sudah melakukan runding untuk urutan tampil. Tapi karen aku tidak ada, jadi dia yang menggantikanku.

     “Nomor lima? Baguslah. Nggak terlalu cepet dan nggak terlalu lama juga,” kataku sambil menerima nomor itu darinya. Dia sempat berpesan jangan terlalu gerogi, cukup bersikap seperti saat latihan dan biarkan semuanya mengalir alami. Aku mengangguk lalu melenggang meninggalkannya.

     “Ingat soal hukuman!” teriaknya lagi. Aku tidak peduli.

      Ketika aku sampai di belakang panggung, ternyata sudah banyak orang juga. Mereka membawa selembaran kertas, sama sepertiku. Kebanyakan yang ikut adalah perempuan. Hanya ada dua peserta lelaki selain aku. Di ujung ruangan, tepat di samping tumpukan steropom, lelaki bertubuh gendut sedang asyik membaca naskah di tangannya, sementara lelaki lainnya-yang memakai kacamata- sedang berbincang dengan salah satu gadis di belakang layar.

      Aku melenggang memasuki area, untuk lebih dekat ke belakang panggung. Sesampainya di sebuah bangku panjang terbuat dari kayu, aku mulai duduk. Tak lama, lelaki gendut tadi melenggang ke arahku, mendekati layar.

      “Tegang,” ucapnya. Aku hanya mengangguk diiringi senyuman canggung.

      Tak berselang lama, suara dari kepala sekolah terdengar. Dia menyampaikan beberapa sambutan dan, pembukaan. Aku tidak terlalu mendengarkan. Batinku bilang, fokuslah untuk berlatih. Aku pun mulai mengeluarkan naskah yang sempat kulipat dan dimasukan ke saku untuk kubaca ulang. Hari ini aku harus menang demi Sae.

      Jika ingat soal Sae, otomatis saja, semua terasa menjadi menggebu. Aku selalu dibuat deg-degan sendiri hanya dengan menyebut namanya saja. Apalagi, kalau sampai dia datang ke perlombaan ini dan menyemangati langsung, seperti yang biasa dia lakukan dua hari ini.

     Aku menaruh kertas yang sedang kuhafalkan, lantas merogoh saku untuk mencari ponselku. Aku memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Sekaligus, mengurangi semua ketegangan yang sedari tadi menghinggapiku.

     “Sae,” kataku dalam pesan, lantas kukirim, diikuti sebuah stiker melambaikan lima jari.

     Tidak memakan waktu sampai satu menit, dia membalas pesanku diawali stiker beruang yang kepalanya penuh dengan tanda tanya, baru kemudian dia menanyakan kenapa aku mengirimi pesan.

     Sebenarnya, aku tidak usah mengirim pesan pada Sae di saat seperti ini. Tapi, aku selalu gugup dan gerogi bahkan sebelum semua ini dimulai. Ketika aku bisa berbicara dengan Sae, meski hanya lewat Line, itu sudah membuatku sedikit lebih baik.

“Kamu datang?”

“Agak telat. Kamu urutan ke berapa?”

“Dapat nomor lima. Masih keburu kayaknya. Kamu di mana?”

“Bentar lagi sampe. Aku lagi dapet masalah. Banku bocor.”

     Ketika membaca pesan itu, aku sedikit terkejut dan, membuatku agak down. Aku langsung berpikir jika dia tidak akan bisa sampai tepat waktu sebelum aku tampil nanti.

“Yaudah, aku tunggu. Harus datang!”

“Oke.”

     Setelah itu, aku kembali menutup ponsel. Membaca lagi naskah pidato dan menghafal semuanya agar acaranya lancar seperti yang kuharapkan.

**

     Peserta yang sudah tampil di urutan sebelum aku, menampilkan semua pidatonya dengan baik. Bahkan, hampir semuanya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Di depan sana, ada seorang gadis dari jurusan IPS 4 yang sedang membacakan pidatonya. Aku mengintip dari balik layar panggung. Dia terlihat sangat lihai dan menikmati pidato yang dibawakannya.

     Seketika saja, rasa gerogi menghinggapiku lagi. Keringat dingin mulai keluar di seluruh tubuh. Aku merasakan sakit perut tiba-tiba. Padahal, bagianku saja belum dimulai, tapi aku sudah ciut duluan.

     Saat aku menatapi peserta nomor empat di depanku itu, tiba-tiba saja aku teringat ucapan Sae sehari yang lalu, saat kami berada di depan lapangan. Dia memberitahuku, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saat itu, hari sudah semakin sore, aku dan Sae memutuskan untuk lebih lama berada di sekolah sambil berlatih naskah pidatoku.

     Sore itu, hanya ada aku dan Sae di depan lapangan voli yang biasa digunakan untuk pertandingan antar kelas. Sae duduk di kursi kayu warna hijau, tepat di bawah pohon mangga sambil memerhatikan, sementara aku berdiri di dekat tiang net sembari meneriakkan pidato tanpa kertas naskah itu dengan lantang.

     Semburat jingga sukses menyinari tubuhku dari arah barat. Aku bisa melihat Sae tersenyum sambil masih mengangkat dua jempolnya ke arahku. Aku tahu dia memujiku, padahal pada kenyataanya, aku masih terus saja salah saat membaca pidato bahasa Inggris ini.

     Ketika aku benar-benar merasa tidak sanggup untuk menghafal semuanya, dan bilang pada Sae untuk menghentikan semua kegiatan ini, lantas pemuda itu bangkit dari duduknya dan berlari menghampiriku.

     Dia terlihat marah dan meraih menunjukan kertas pidato di tangannya padaku.

     Aku bilang, bahasa Inggris terlalu sulit untuk kuhafalkan. Dia lantas melipat kertas di tangannya, kemudian menaruh kedua tangan di bahuku. Kami saling tatap. Aku yang merasa payah dan malu dengan kemampuan diri sendiri, juga merasa telah menodai kepercayaan Sae padaku, hanya bisa menolehkan pandangan ke arah lain tanpa berani menatap kedua bola matanya langsung.

     “Denger, Adis! Ini adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang harus kamu selesaikan. Apa kamu mau lari dari semua ini? Orang-orang percaya sama kamu,” katanya, sembari masih memegangi bahuku. Aku masih tak berani menatap kedua bola matanya.

     “Kamu juga udah berjanji sama aku untuk menang lomba. Terus, kamu mau jadi pecundang dan lari dari semua tanggung jawab?” Dia lalu mengarahkan tangannya untuk meraih pipiku dan memosisikan wajahku untuk lurus menatapnya. Aku yang diperlakukan seperti itu hanya bisa mengigit bibir sambil memberanikan diri menatapnya.

     “Aku nggak sehebat kamu, Sae. Aku nggak seberani kamu. Pidato ini nggak bisa aku selesaikan!”

     “Nggak ada yang nggak bisa selama kamu mau berlatih dan terus berusaha.”

     “Buktinya, aku nggak bisa hafalin semua ini dengan benar.” Aku kembali membuang pandangan ke sisi lain. Sae berusaha lagi mengembalikan tatapanku untuk saling berhadapan dengannya.

     “Kamu bisa! Aku tahu itu. Kalau kamu nggak bisa, nggak mungkin kamu akan berdiri di sini dan bacain naskah pidato ini kayak tadi tanpa nyontek. Aku tahu kamu bisa,” tegasnya sambil menguatkan pegangan tangan di pipiku. Sorot mata Sae menyalurkan semacam aura aneh yang membuatku sedikit nyaman di bawah ketidakmampuan yang aku rasakan.

     “Tapi, Sae....”

      “Kita udah sama-sama berjanji. Kamu harus menepatinya,” katanya lagi dengan tatapan  penuh penegasan. Aku yang tak bisa apa-apa hanya menatapnya dengan terus menggigit bibir bawah. Sebentar kemudian, aku mengangguk.

      Aku mengembuskan napas berat untuk membuat diriku setenang mungkin menghadapi situasi sekarang. Untuk kedua kalinya, sakit perut itu muncul. Beberapa kali aku memejamkan mata sambil terus mengatur napas agar merasa rileks.

      Di saat embusan terakhirku habis, saat itulah tepuk tangan dari semua orang yang hadir di  acara lomba ini terdengar, membuat suasana yang tadinya hening karena semuanya menikmati acara menjadi ramai.

     Aku mengintip lagi dari balik tirai, sambil menatapi satu per satu orang yang datang. Dari bangku urutan kedua, di posisi sebelah kanan tempat di mana semua orangtua hadir, ada ibuku yang masih sibuk bermain ponsel. Dia benar-benar datang.

     Tapi, aku tidak bisa melihat di mana Sae. Apa mungkin ban motornya masih belum selesai diperbaiki?

     Saking seriusnya mencari di mana Sae duduk, sampai-sampai aku tidak sadar jika peserta nomor empat sudah keluar dari balik tirai. Dia sempat menabrakku yang masih duduk anteng mengintip.

     “Eh, ada orang?” Dia agak mundur sedikit setelah tahu menabrak seseorang. Aku kemudian sadar dan mundur. Sebentar kemudian, gadis itu keluar dari balik tirai.

      “Kamu ngak apa-apa?” tanya lelaki tambun yang tadi duduk di kursi kayu itu. Aku yang berdiri di dekatnya hanya menoleh lantas mengangguk.

      “Semangat, ya?” ucap gadis bernomor urut empat padaku. Aku menatapnya, lalu mengangguk diiringi senyum.

**

     Tepuk tangan bergemuruh ketika aku masuk melewati tirai. Semua orang terlihat antusias ketika mereka melihatku memasuki panggung. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi ini benar-benar membuatku kembali merasa gerogi. Tegang.

     Dari ujung barisan, di dekat pintu aula depan, di bawah pengeras suara, ada anak-anak dari jurusanku. Di sana mereka berteriak sambil menyebut namaku keras-keras. Ada Arrani juga yang berdiri dengan kedua tangan ditaruh di depan dada. Dia tersenyum. Kali ini, senyumya manis dan sedikit membuatku tenang.

     Aku melangkah perlahan tapi pasti menuju standing mix sambil terus berusaha untuk tenang. Setelah posisiku mantap, aku berdiri tegap dengan tatapan lurus ke depan. Menyaksikan semua orang yang duduk di hadapanku.

     Aku sempat memerhatikan keadaan sekitar. Aula ini terlihat lebih sempit dari biasanya. Entah karena banyaknya orang yang memenuhi ruangan;membuat ruangan sebesar ini menjadi terlihat lebih kecil, atau memang kapasitas aula yang tidak bisa menampung orang sebanyak ini.

     Kualihkan pandangan dari orang-orang yang hadir ke deretan foto yang terpasang rapi di dinding. Di sana, terpampang semua gambar siswa berprestasi yang sempat mengharumkan nama sekolahan. Di deretan foto itu juga, aku bisa melihat Sae sedang tersenyum dengan sebuah piala di tangannya. Dia menjadi perwakilan sekolah waktu itu.

     Melihat hal itu, aku jadi teringat pada Sae yang masih belum juga aku lihat sedari tadi. Kontan saja, yang kucari sekarang adalah dia. Mataku memindai satu per satu orang yang ada. Mereka menatapku heran. Mungkin, lebih tepatnya, mempertanyakan tentang tindakanku yang masih belum juga membuka salam.

     Saat aku masih sibuk mencari, seorang MC berdeham pelan. Aku tersadar, lantas menoleh.

     Aku berdeham pelan sambil memosisikan mix di depanku agar lebih nyaman digunakan. Setelah semuanya merasa siap, juri-juri yang duduk berbaris di bagian paling depan mempersilakanku sambil memencet sebuah tombol pada sebuah kotak berupa benda penghitung waktu.

     Ludahku meluncur cepat ke tenggorokan.

     Go---good Morning, all.”

     Semua orang serempak menjawab. Di samping Arrani, ada satu orang yang terus mengacungkan kepalan tangan ke arahku. Dia melotot sejadinya dengan tatapan mengancam. Tak mau menanggapi lelaki aneh itu, kemudian aku kembali fokus pada pidato.

    Aku sempat menggeleng pelan, mencoba fokus mengucapkan salam pembukaan. Setelahnya, kuembuskan napas perlahan sampai merasa lega. Belum apa-apa, aku sudah kehilangan fokus. Melihat semua tatapan penonton, sukses membuat nyaliku terkikis.

    Honorable ones; the principle of, of....

     Kakiku bergetar.

    Aku memejamkan mata, mengingat kata apa lagi yang akan kuucapkan setelahnya. Awalnya, semua orang terdiam ketika aku mulai gugup. Sebentar kemudian, mulai memberikan tepuk tangan. Mereka meneriaki namaku. Kontan saja, aula ini menjadi ramai oleh suara tepuk tangan. Hal itu justru memperburuk keadaan.

     Pejamku semakin kuat ketika gerogi semakin menggelayuti seluruh tubuhku. Pikiranku berkecambuk. Aku mengingat banyak hal saat ini. Mengingat tentang kegagalan. Mengingat tentang semua orang yang datang. Mengingat semua harapan yang teman-teman gantungkan padaku. Juga, mengingat tentang ... Sae!

     And all my friends in XII, X and XI grade”

     “First of all, let ussss... Peeeraise to the Almighty God, because of His Blessing weeeee.... We are able to gather here, to attend a farewell ceremony for the students of SMA Angkasa, XII grade in academic year 2017-2018.

    Aku hampir saja salah menyebutkan nama sekolahku. Dalam pejam yang ke sekian kali, aku kembali menggali kalimat apa yang akan diucapkan selanjutnya.

     My friends, in ... in---in... this good opportunity, I stand here to resep---represent all the students of SMA Angkasa. Grade XII to give a valedictory speech.”

      Di hitungan dua detik setelah mengutarakan kalimat tersebut, aku membuka mata, lantas mulai menoleh ke deretan foto yang ada di dinding aula. Satu foto yang menjadi fokus utamaku adalah milik lelaki bernama Saelandra. Dia tersenyum ke arahku. Tersenyum lewat foto.

    “On the behalf of all students XI grade.”

    “There are so many things ttt---that that that that I i i i want to say here to express ho ho how thankful we are. I can't  i can’t i ican’t find a word to express this tears of joy of...”
Tanganku mengepal erat, merutuki diriku sendiri. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Ayolah, Adis, tenang!

    “... remembering all mem... mee.... memories that we have been through during this past three years. All we wwa---ant to say is we are proud to belong here, to study here and to meet all great teachers that we have ever met.” 

     Tubuhku sudah dikuasai gerogi. Gugup. Tubuhku, bergetar lagi.

    Semua kata-kata yang kuucapkan tadi, mengingatkanku pada perjuangan Sae yang sudah meluangkan waktunya untukku dua hari ini. Sae yang dengan semua ketegasannya, membimbingku untuk terus berjuang, memberikan semua yang kupunya untuk pidato ini. Sae juga, yang sudah memberikanku harapan, ketika aku sudah tidak mau memperjuangkan lagi pidato Bahasa Inggris ini.

     Mataku masih jelalatan mencari keberadaan pemuda beraroma bayi itu. Tapi, kenapa, di saat semua yang sudah kupersiapkan untuk hari ini, dia malah tidak datang. Sae tidak hadir di saat aku tampil untuknya?

     Fokusku buyar. Aku tidak bisa menjaga konsentrasi. Diriku yang paling dalam hanya menginginkan satu hal, yaitu Sae. Kehadirannya, adalah satu-satunya yang kuinginkan.

     Jika, semua yang aku siapkan untuk dirinya selama dua hari ini tak dapat Sae lihat, untuk apa aku terus berjuang? Toh, di awal saja aku sudah merasa putus asa. Satu-satunya tujuanku untuk memang adalah demi Sae. Jika dia tidak datang, masih bisakah aku berjuang?

     Aku mematung di tempat. Lidahku seakan kelu. Otakku tak mampu lagi menggali kata apa yang akan kuucapkan selanjutnya. Suasana terasa canggung. Atmosfer yang tidak mengenakan ini menyebar ke seluruh ruangan. Semua orang yang tadi sempat bertepuk tangan, kini mulai cengo, termasuk Ibu.

     Aku masih diam. Kedua bola mataku bisa melihat Ibu yang sedang duduk dengan tatapan penuh tanda tanya. Jika saja aku bisa paham apa yang dia pancarkan dari raut wajahnya, mungkin akan seperti ini, Kamu kenapa Adis? Lanjutkan pidatonya!

     “We would like to ssss---say th---th---thank you vvvvvvery much for all the tttt---teachers....”

     We ... W....”

     Aku mengacak rambut. Dari ekor mataku, dapat kulihat salah satu juri masih menaruh satu tangannya di atas benda penghitung waktu. Waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi, dan aku baru saja mengucapkan seperempat isi dari pidato yang Sae tulis.

     Semua juri saling pandang, mereka sepertinya tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.

     Waktu lima menitku terbuang sia-sia.

     Berbagai ingatan kembali berputar di kepalaku. Aku memejamkan mata, dengan tangan yang terus bergetar. Tubuhku menggigil. Seluruh kulit terasa dingin dan dipenuhi keringat. Telingaku terasa menangkap bunyi jarum penghitung waktu itu semakin berdengung. Makin keras sampai aku merasa dikelilingi oleh semua hal mengerikan.

     Aula yang kudiami terasa berubah menjadi bangunan lenjong. Semua orang yang hadir seakan menatapku dengan wajah mengejek, termasuk tatapan ibu yang terlihat menyeramkan. Aku bersikeras untuk mengingat. Menggali semua ingatan saat latihan bersama Sae. Berusaha menggali semua kenangan manis yang bisa kujadikan obat di saat seperti ini.

     Bunyi jantungku semakin keras. Detak jantungnya terasa terpompa lebih cepat. Aku kaget sejadinya ketika sebuah suara terdengar membuyarkan semua rasa takut yang mengelilingi.

     “Ananda Adis, saudara tidak apa-apa?” tanya MC padaku. Wanita berpakaian formal serba hitam itu menatapku sedikit khawatir. Keadaan lengang. Tak ada satu suara pun yang kutangkap selain bunyi jantung yang makin terpompa kencang.

     Aku tidak tahu harus apa sekarang. Semuanya sudah terjadi. Untuk mundur saja, aku tidak bisa. Jika pun aku kembali sekarang, semua orang akan mengingatku sebagai orang yang gagal dalam pidato. Tapi, jika aku masih bersikeras untuk melanjutkan, aku tidak tahu, apa yang harus kuucapkan. Aku sudah sepenuhnya lupa dengan naskahku.

      Pada kenyataanya, berbicara di depan orang itu bukan saja sekadar hafal apa yang harus dibawakan. Tapi juga harus mempersiapkan semua aspek yang lain. Mengasah kekuatan mental misalnya. Dua hari ini aku terlalu fokus untuk bisa menghafal naskah pidato, tanpa sadar jika kesiapan mental sama pentingnya dengan hafalan naskah.

      Aku mematung.

      “Sa---Sa....” Aku gugup. Mataku masih menoleh pada orang-orang di depan. Kulihat waktu yang tersisa tinggal empat puluh detik.

      “Say---Sa...,” Aku menoleh pada wanita itu sambil menelan ludah.

      Sangat sulit untuk mengucapkan, saya sudah tidak bisa lagi melanjutkannya. Hanya itu saja. Itu terlalu sulit untuk diutarakan. Entah apa yang mengganguku kali ini.

      Wanita berpakaian formal itu menautkan kedua alis matanya. Dia menatapku dengan penuh tanda tanya, sementara aku masih berusaha untuk bilang, kalau aku sudah menyerah. Wanita itu kemudian menoleh pada juri yang duduk di bawah panggung. Dia meminta pendapat soal keputusan selanjutnya.

      Salah satu juri mengangkat tangan. Kontan saja itu membuatku terkejut sejadinya. Tindakan itu membuat jantungku kembali terpompa. Aku siap dinyatakan gagal!

      Ludah dengan cepat meluncur lagi. Kutarik standing mix dan kucoba utarakan lagi.

      “Sa...” Di saat aku benar-benar akan mengucapkannya, dengan tanpa sengaja, mataku menoleh ke arah pintu masuk aula bagian depan, tepat di mana semua teman-temanku duduk. Di sana, aku melihat sosok pemuda yang baru saja datang dengan napas yang masih sesenggal. Dia berdiri dengan dada yang naik turun.

     Napasnya berderu sambil menatap ke arahku. Setelah menelan ludahnya dengan kasar, dia kemudian menarik napas cukup panjang dan, dalam hitungan ke sekian detik, dia meneriakkan namaku dengan keras. Dia memberiku kalimat yang sedari tadi kutunggu-tunggu, Adis, aku datang untuk semua kerja kerasmu. Berjuang! Aku tahu kamu bisa!

     Semua orang yang mendengar itu sontak saja menoleh serempak ke asal suara. Aku yang senang dengan kehadirannya, lalu tersenyum sambil menggigit bibir bawahku. Rasa senangku benar-benar tak terbendung kali ini.

     “Sae,” teriakku, melanjutkan ucapan sebelumnya yang sempat tertunda. Yang pada kenyataanya, bukan kata itulah yang seharusnya keluar dari mulutku.

     Dia mengangkat satu tangannya yang mengepal, memberi tanda bahwa dia datang untukku. Bibirnya merekah lebar. Aku bisa melihat aliran semangat yang Sae pancarkan dari raut mukanya.

     Tanpa membuang waktu lagi, kutarik kembali standing mix dan siap kembali memulai pidato. Tapi, ketika aku baru saja akan memulai, salah satu juri mengangkat kedua tangan di depan wajahnya dengan membentuk pola X, yang artinya waktuku untuk berpidato sudah habis.

      Sialan!



I Saed Lupyu [Bagian Dua]


Dua.
     Hari berikutnya, kami sepakat untuk bertemu di sebuah Cafe Hits di kotaku. Karena hari ini aku sudah tidak ada lagi mata pelajaran yang harus diremedial, jadi aku memutuskan menggunakan waktu kosong ini untuk membuat naskah pidato.
     Tadi pagi, aku sempat mengirim LINE pada Sae. Aku bilang, jika dia tidak sibuk, sempatkan diri untuk mampir. Tak lama, dia membalas pesanku dan bilang akan datang jika waktunya memungkinkan. Makanya, setelah dirasa tak ada lagi mata pelajaran yang akan aku remedial, bergegaslah aku ke tempat ini.
     Tempatnya menyejukan. Awalnya aku tidak berniat datang ke sini. Hanya saja, tempat inilah yang paling dekat dengan sekolahku. Menurutku, cafe ini masih bisa dijangkau oleh anak-anak sekolah yang memiliki budget kecil untuk jajan.
      Saat aku sampai, deretan kursi minimalis modern terpampang rapi menyambutku. Warna hitam mendominasi bangunan tersebut. Dari mulai meja, kusen pintu, sampai cat di dalam ruangan, semua warna hitam. Hanya kursi dan kaca saja yang warnanya berbeda.
      Sambil menunggu Sae datang, aku hanya mencoba mencari sedikit ide untuk bahan naskah pidatoku nanti, sambil sesekali mengamati keadaan sekitar. Tak berselang lama setelahnya,  Sae datang beberapa saat kemudian.
     “Hallo, Adis.” Sae membuka helm hitam yang membungkus kepalanya, kemudian menaruhnya di setang motor. Dia membuka sarung tangan hitamnya, kemudian mulai melenggang ke arahku.
      “Udah lama?” tanyanya. Aku yang duduk di samping pintu masuk kemudian berdiri. Dia melangkah semangat ke arahku, lantas berdiri berhadapan.
       “Lumayan. Di dalam aja, yah?” kataku sambil merapikan barang-barang yang berserakan. Sae mengangguk, kemudian memasukan sarung tangan hitamnya ke saku jaket.
       Pemuda itu lantas membukakan pintu untukku. Aku menoleh dan tersenyum. Saat aku masuk, hal pertama yang terrtangkap oleh indera penglihatanku adalah, poster-poster begron hitam yang dipasang di dinding. Banyak tulisan-tulisan dengan font menarik di dalamnya.
     Tak jauh dari pintu masuk, ada sekitar empat sampai lima meja warna hitam dengan kursi kayu krem yang tersusun apik dari ujung kasir sampai ke batas sebuah pilar yang menyangga lantai dua. Lampu-lampu gantung, dikaitkan pada plafond dengan indah, sehingga menambah kesan modern serta kekinian kafe ini.
     Keramik sewarna putih menjadi alas meja dan kursi yang diduduki pengunjung kafe modern ini.
     “Itu di pojokan aja.” Sae menunjuk satu meja yang isinya hanya ada dua kursi. Aku mengangguk, kemudian melenggang lebih dulu.
      “Bagaimana kabar ibu?” Sae duduk lebih dulu. Dia mengeluarkan ponsel miliknya, menaruhnya di atas meja, lantas mulai memainkannya.
      “Sejauh ini baik. Ibu sedang sibuk mengurusi semacam arisan. Aku nggak tahu acara apa. Tapi, katanya, beliau sibuk.”
      “Ibu tahu kamu mau lomba?”
      “Nggak. Aku nggak pernah cerita. Lagian, kalau pun aku bilang, nggak yakin juga Ibu datang. Apalagi Ayah. Ah, entahlah.”
      “Tapi, cobalah untuk memberitahu mereka.” Sae menaruh ponselnya, melipat dua tangan di depan dada, kemudian memiringkan kepala sedikit sambil tersenyum. “mereka akan senang kalau tahu kamu ikut lomba.”
      “Aku lebih senang kalau kamu yang datang,” kataku seadanya. Tangan-tanganku lihai mengeluarkan kertas yang sempat kucoret-coret untuk menuangkan ide yang keluar di dalam otak. Dua manikku apik memindai aksara yang tadi kutorehkan. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan jadi bahan pidato nanti.
      Tak lama setelah perkataan tadi, aku cukup fokus pada kertas-kertas di tanganku sampai membuat Sae berdeham pelan. Mataku mengerjap beberapa kali, menoleh pada pemuda di hadapanku, lantas tersenyum.
      “Aku akan datang. Akan kuusahakan.”
       “Ya, semoga saja.”
       “Jadi, apa yang mau kamu angkat jadi bahan pidato?” Sae belum mau memesan. Sedari tadi kami masih sibuk dengan urusan masing-masing. Aku contohnya, yang sibuk dengan kertas-kertas dan pensil di tangan.
      “Nggak tahu, deh, yah. Otakku macet kayaknya. Kamu ada ide?”
     Dia menggeleng pelan.
      Wajah Sae yang putih makin bersinar ketika rambatan cahaya matahari menyinari pipi-pipinya. Aku yang melihat kejadian itu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dari sudut ruangan seperti ini, aku bisa melihat beberapa orang yang berlalu-lalang di bawah terik mentari, memancarkan sinar yang membuat Saelandra Bahari menjadi lebih memesona.
      Sudah begitu lama aku mengenalnya. Sudah lama pula, aku menjadi bagian dari kehidupannya. Sae itu bisa menjadi sosok yang misterius. Aku bisa dengan mudah memahaminya. Tapi terkadang juga begitu sulit untuk tahu apa yang sedang dia pikirkan.
      Dia, pemuda itu, kini duduk di hadapanku. Maniknya teduh menatap kertas di tanganku. Entah apa yang berputar di ingatannya. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Hanya satu hal yang aku harapkan, semoga saja, dia tak pernah berpikiran untuk berpisah denganku.
      Aku tidak akan pernah tahu bagaimana hidupku, jika sosok Saelandra enyah dan hilang dari kehidupanku.
      Aku tidak ingin berpisah dengannya. Perpisahan. Sesuatu yang tak pernah kuinginkan. Berpisah, ya...
      “Ah, gimana kalau soal perpisahan?” kataku tiba-tiba. Aku menggerling ke arahnya. Lelaki itu nampak menaikan alis mata, kemudian menimbang sejenak. Tak berselang lama setelah aku makin melebarkan senyum, dia pun mengangguk.
      Kami akhirnya memutuskan untuk mengangkat tema tentang perpisahan. Awalnya tidak terpikirkan untuk mengangkat tema itu. Tapi, saat otakku berputar  membicarakan tentang perpisahanku dengan Sae, tiba-tiba saja mulutku meluncurkan ide itu. Nampaknya, Sae juga tidak terlalu keberatan.
     “Perpisahan, ya?” gumam Sae pelan.
     “Iya. Hal yang paling berat dan menyakitkan bukan?” tanyaku sambil tersenyum sinis. Aku menatap kedua maniknya yang mengilap. Sae memiliki tatapan yang teduh, seolah semua hal yang dia jalani berlalu baik-baik saja tanpa ada masalah. Sae bisa bersikap sangat tenang menghadapi masalah. Dia dewasa dan lebih tahu apa yang harus dilakukan.
     “Seperti itulah siklusnya. Hidup dan mati. Gelap dan terang. Siang dan malam. Juga, ada pertemuan dan perpisahan. Kamu nggak bisa sepenuhnya menyalahkan dirimu sendiri karena pernah bertemu seseorang dan akhirnya harus berpisah. Karena semua itu sudah memang seharusnya seperti itu.”
      “Berat memang untuk berpisah. Tapi jika memang sudah waktunya, kita bisa apa?” sambungnya sambil masih mengoceh, membolak-balikan kertas di hadapannya.
      “Pengalaman,” gumamku pelan, membuat dia tersadar dari dunianya sendiri. Sae menoleh lalu tersenyum kuda.
      “Aku minta kamu ke sini buat bantuin bikin naskah, bukan buat curhat dan baper-baper ria.”
      “Aku tahu. Dan karena itu, aku jadi haus. Mau pesankan aku minum?” Dia makin melebarkan senyum kudanya, seolah tidak berdosa. Tapi anehnya, dengan perasaan ikhlas dan tak banyak mendumel, aku mau saja memesakan minuman untuknya.
      “Ice choco cheese cream crunch?” tawarku.
       “Ya, dan jangan lupa pisang cokelat taburan susu dan gulanya. Tapi, emang ada, ya?”
      “Gak tahu, deh, ya. Aku cek dulu aja.”
      Dia melakukan tegap hormat padaku sambil membusungkan dadanya yang bidang. Kepalaku kontan menggeleng, kemudian mulai membalikkan badan. Kulihat Sae tersenyum di bangkunya. Aku menggeleng pelan lagi sambil mulai melenggang menuju kasir, untuk memesan apa yang tadi Sae inginkan.
     Pertemanan selama dua tahun membuatku cukup untuk mengenali diri Sae sepenuhnya. Selama itu pula aku tahu apa yang dia suka dan tidak suka. Beberapa makanan, dan minuman favorit, juga soal barang-barang apa saja yang selalu ingin dia koleksi.
     Mungkin aku sudah terlalu jauh melangkah di kehidupannya. Aku sudah lebih dari mengetuk pintu hatinya dan bertamu di sana. Saat ini, ruangan kosong itu sudah kutempati, mendekornya dengan semua hal yang kuketahui tentangnya.
     Aku kembali dengan minuman lain. Pesanan yang Sae inginkan ternyata tidak ada di kafe ini. Terpaksa, aku hanya bisa membawakannya  pisang cokelat dan untuk minumannya, aku memesan cappucino. Dia terlihat anteng dengan kertas dan pulpen. Aku menatapi tiap inci wajahnya yang putih dan juga mulus. Dia itu seperti bayi. Wajahnya mulus sekali. Ohya, dan aroma tubuh Sae juga seperti aroma bayi.
    Cahaya dari matahari yang menerobos lurus melewati kaca jendela membuat wajah Sae semakin bersinar, lagi. Tangannya yang besar dan juga jari-jarinya yang panjang lihai menuliskan kata demi kata untuk naskah pidatoku.
    Meski di ruangan ini ada begitu banyak orang dengan berbagai macam pesona, tapi mataku dengan anteng tertuju pada satu titik. Satu titik yang hanya bisa dilihat keindahannya olehku saja. Jaket baseball biru dongker yang dikenakannya, membuat Sae semakin menarik di antara yang lain.
    Ketika mata ini masih betah menatapnya dalam sebuah jarak, dia mulai menoleh padaku, memergokiku yang sedang senyum-senyum tidak karuan. Aku mengerjap, lantas mulai melangkah mendekatinya.
    “Kamu ada waktu buat ngafalinnya?”
    “Nggak usah panjang-panjang, deh. Aku juga nggak yakin bisa menang.”
    “Kamu, kok gitu? Aku udah relain bantu, masa nggak menang? Kamu harus menang!”
    “Dua hari, Sae. Aku nggak yakin bisa.”
    “Aku bisa bantu kamu.”
    “Nggak tahu, deh ya.” Aku menyerahkan pesanan padanya. Dia menaruh pulpen, lalu meraihnya.
     “Aku mau kamu menang! Titik. Aku nggak mau tahu. Kamu harus menang!”
     “Apa yang bakal aku dapat kalau menang lomba?”
     Sae mengaduk cappucino-nya dengan sendok. Beberapa detik dia terlihat berpikir, mencari tahu apa yang akan dia berikan padaku, jika nanti aku memenangkan lombanya;mungkin.
     “Aku akan kasih sesuatu, deh pokoknya.”
     “Iya apa? Kamu harus tanggung jawab kalau gitu.” Aku terkekeh geli.
      “Siap. Aku nggak keberatan. Tapi kamu harus janji menang dan aku berjani buat ngasih kamu hadiah. Deal?” Dia mengulurkan tangan kanan yang sebelumnya ia gunakan untuk menggam sendok kecil. Aku diam sejenak sebelum membalas jabat tangan Sae. Otakku memikirkan beberapa kemungkinan kecil lainnya.
     Memenangkan lomba? Bisa saja aku mengabaikannya. Lagipula, aku memang tidak berniat untuk ikut. Jika bukan karena desakan Arrani dan temannya yang menyebalkan itu, aku pasti sudah mengundurkan diri. Selain itu, teman sekelas mengancamku agar aku menang lomba.
    Baik! Aku akan memenangkan lomba ini. Tapi bukan demi mereka, semua ini demi Sae. Demi dia yang sudah rela mengorbankan waktunya hanya untuk membantuku membuat naskah pidato.
     “Baik.” Aku membalas jabat tangannya, kemudian mengangguk.
    Aku juga harus memberinya sesuatu yang spesial kan? Lagipula, Sae sudah berjanji akan memberiku hadiah. Aku harus menang. Kami sudah saling janji.
     “Pikirkan apa yang paling menyakitkan dari perpisahan?” Sae mulai kembali menulis.
     “Kemungkinan bertemu yang sangat kecil? Atau bahkan tidak akan pernah bertemu lagi?” kataku.
     Sae mengangguk, sambil mengetuk-ketukan pulpen di dagunya. Dua sampai tiga kali matanya terpejam, mencoba mencerna apa yang kukatakan tadi.
     “Tapi ini perpisahan untuk siswa kelas tiga, Adis. Akan ada masa reuni nanti. Biasanya dilakukan dalam tiga tahun setelah kelulusan, kan? Jadi pasti masih bisa bertemu.”
     “Begini saja, kamu buat hal yang menyedihkan saja. Maksudku, buat seolah-olah berpisah dengan teman satu perjuangan itu menyedihkan dan, ya ... Sedih, pokoknya,” saranku seolah semuanya mudah.
     Aku meminum pesanan yang sama dengan Sae. Pemuda di depanku masih berpikir. Sekiranya, dia sedang mencari hal apa yang lebih sedih dari kemungkinan tidak bisa bertemu lagi setelah berpisah.
      “Semua orang meninggal ketika acara perpisahan terjadi?”
      Aku mengernyitkan dahi. Menggeleng.
     “Sebuah meteor melesat dari jalur lintasan dan mendarat di sekolah?”
     Aku mengernyit makin kuat. Dia masih berpikir. Pulpen yang dia pegang, diposisikan di bawah bibir tebalnya.
     “Atau ...,” katanya menimbang. Aku yang sudah tidak ingin mendengar hal aneh lagi darinya, kemudian mulai mencoba menolak. Aku pikir, dia hanya akan mencari alasan-alasan yang lebih brutal lagi jika tak segera dihentikan.
     “Kamu nyumpahin, deh kayaknya,” kataku sambil menaikan alis mata. Dia berhenti berpikir, lalu menoleh dengan tatapan tanpa dosa. Bibirnya kembali merekah, senyum kuda.
     “Gini aja, kamu tulis semua kenangan yang pernah kita lewati selama tiga tahun. Itu bisa membangkitkan lagi kenangan di otak mereka. Mungkin bisa juga bikin mereka nangis,” saranku sambil memegangi sendok. Sae di hadapanku menaruh pulpennya, mengangkat cangkir, dan menyeruput isi di dalamnya perlahan.
      “Sebenarnya, kamu bisa bikin naskah sendiri.” Dia meraih kertas dan pulpen lalu memberikannya padaku. “Tulis aja dulu. Tulis apa saja yang menurut kamu menyedihkan. Berpisah dengan aku mungkin, atau kamu nggak bisa ketemu aku lagi?”
       “Kok harus itu, sih contohnya?”
      “Ya, kalau apa yang dialami sendiri oleh penulisnya, biasanya akan lebih dapet feel­-nya. Tapi kan itu hanya perumpamaan. Lagian, aku juga nggak mau pisah sama kamu,” tuturnya sambil kembali menghisap cappucino.
      Setelah ucapan itu, seakan ada aliran hangat yang menjalar di dada, membuat aku merespon dengan senyum-senyum sendiri. Ketika Sae mengucapkan jika dia tidak ingin berpisah denganku, aku merasa senang dan, kuyakin, pipiku sudah merah sekarang.
      Buru-buru kualihkan pandangan yang awalnya saling bertatapan, untuk kembali menatap kertas yang Sae berikan padaku. Aku tidak mau dia menyadari diriku yang tersipu karena perkataanya.
     “Yaudah, aku tunggu di sini sampai selesai. Kamu tulis aja versi Indonesianya. Aku bakal ubah ke versi Inggris.” Dia menyarankan. Aku yang setuju, lalu mengangguk.
      Karena merasa yakin jika apa yang akan kutulis itu cukup sebagai bahan pidato nanti, akhirnya aku setuju untuk menulis naskahku sendiri. Sae hanya diam sambil sesekali mengoreksi kata yang salah.
     Tak sampai sore, kami berhasil membuat satu naskah dalam bahasa Indonesia. Dan sisanya, kuserahkan naskah itu pada Sae untuk diubah ke dalam BAHASA INGGRIS.

Pembacaku

Etiketler

Labels

Iklan

About

Blog untuk One shoot, Novel, Cerpen dan karya tulis lainnya.

Karya Tulis

Karya anak BANGSA

Fly Like a Wind

Weekly most viewed