Dua hari ini
aku tidak keluar rumah. Semua media sosial kunonaktifkan. Data dalam ponselku
juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar
sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya
cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya
padaku. Terlebih pada Sae.
Setelah
perlombaan hari itu, Aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan
panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula, untuk menghindari Sae yang sudah
pasti akan menyusulku ke belakang panggung. Rasa marah bergejolak di dalam
diri.
Saat itu,
ada dua hal yang aku rasakan. Aku marah padanya, karena dia tidak bisa datang
untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya. Dan, hal kedua adalah,
aku merasa malu untuk menunjukan wajahku pada Sae.
Setelah
melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran. Mencari di mana
posisi motorku berada. Saat aku sudah menemukan sepeda motorku yang terparkir
di bawah pohon, dan sudah hampir kugapai, seseorang menarik tanganku.
Kontan saja
tubuhku berhenti. Aku tahu siapa dia. Dengan tanpa menoleh saja, aku bisa
mengetahui jika orang yang baru saja menahanku adalah Sae. Aroma bayi yang khas
di tubuhnya menyeruak di udara sampai masuk ke lubang hidungku.
“Adis,”
katanya sambil masih menggengam tanganku. Aku menelan ludah dengan kasar.
“Maaf aku
nggak bisa hadir tadi. Aku beneran nggak bisa. Harusnya, aku datang dan nonton
kamu pas lomba.” Sae masih memegangi tanganku. Aku belum sedikitpun mengubah
posisi tubuhku dari sikap semula.
“Tapi aku
berusaha untuk datang. Aku juga mati-matian cari angkutan buat bisa sampai ke
sini. Tapi...”
“Kamu
nggak perlu minta maaf. Yang harusnya minta maaf adalah aku. Karena aku nggak
bisa bawain pidato itu dengan baik sesuai apa yang kamu minta.” Ucapanku terasa
berat. Aku merasa seperti akan menangis. Sesak di dada tiba-tiba terasa begitu
saja. Aku melihat motor di depanku semakin kabur, remang-remang.
“Lagian,
dari awal aku udah nggak yakin bisa bawain pidatonya.” Aku tahu, sekarang
mataku sudah mengeluarkan butiran air. Aku menangis.
“Cuma
karena kamu aja aku mau berusaha. Cuma karena janji kita aja aku mau terus
berjuang. Tapi, nyatanya aku tetap gagal.”
Sae melepas
tanganku. Aku tersentak saat dia melakukannya, kemudian aku menarik posisi
tanganku yang awalnya di belakang sampai kuposisikan sejajar dengan kakiku.
Beberapa
saat setelah aku melakukannya, terdengar satu langkah kaki, dan tiba-tiba saja,
tubuh jangkung dan besar milik Sae mendekap punggungku. Kedua tangannya yang
panjang itu melingkar di tubuhku.
“Maafin
aku, Adis,” bisiknya dengan nada yang terkesan menyesal.
Aku tidak
bisa melakukan apapun. Aku hanya diam dalam dekapan Sae untuk beberapa saat.
Dia terlihat menyesal dengan semuanya. Aku yang masih diam hanya bisa menangis
sambil sesegukan.
Setelah
hal itu, aku lantas memintanya untuk melepaskan pelukan, dan bilang, jika aku
sedang ingin sendirian. Pada awalnya, dia tidak mendengarku. Lengan panjangnya,
terus saja bertautan, mengelilingi tubuhku yang tak lebih tinggi dari
pundaknya. Tapi, karena, aku tidak ingin diperlakukan seperti itu untuk
sekarang, lantas meronta dan hampir membuat Sae terdorong ke belakang.
Dia kaget,
melepas pelukan, dan mencoba membalikan tubuhku untuk berhadapan dengannya.
“Nggak,
Sae. Tinggalin, aku!” Aku membentak, lantas pergi menghampiri motorku dan mulai
melesat meninggalkannya.
Sejak hari
itu, aku tidak mau menerima pesan dari siapapun. Dan dua hari itu pula, aku
tidak bertemu Sae. Bukannya apa-apa, aku terlalu malu untuk melihat wajahnya.
“Adis!!”
Seseorang dari balik pintu kamar terdengar. Suara ibu membuyarkan lamunanku
yang sedang kunikmati di bawah jendela kamar.
Ohya, dua
hari lalu, Ibu juga menanyakan hal yang sama dengan apa yang Arrani tanyakan
padaku dalam whatsapp. Ibu bilang, mengapa aku bisa sampai kehilangan
konsentrasi dan kacau saat berpidato. Aku tidak bisa memberitahukan Ibu soal
alasan mengapa aku bisa menjadi seperti itu. Bahkan Arrani menyuruhku untuk
datang ke sekolah. Anak-anak kelas ingin bicara denganku.
“Adis. Ada
tamu. Keluar dulu sini.” Ibu masih mengetuk pintu. Aku mengerjap, lantas mulai
bangkit dari posisi duduk di bawah jendela dan berdiri dengan memegangi kursi
belajar; posisinya berada di sampingku.
Kemarin
juga seperti ini. Ibu menyuruhku keluar karena katanya ada tamu. Tapi, aku
bersikeras bilang untuk menyuruh tamu itu pulang. Aku tahu sebenarnya yang
datang adalah Sae.
Tapi kali
ini, ibu bilang aku harus keluar dulu dan temui tamunya.
“Bu, suruh
pulang saja,” kataku sambil mulai duduk di kursi, menatap ke luar jendela
lantai dua kamarku. Dari sini aku bisa melihat rumah tetanggaku yang juga dua
lantai. Dari sini juga, aku bisa lihat jalanan yang dilewati beberapa orang
komplek.
“Jangan
gitu. Dari kemarin kamu suruh dia pulang. Ayo, ah keluar dulu. Enggak enak sama
Nak Sae.”
Aku
menoleh pada pintu. Sudah kuduga jika yang datang memang Sae. Aku mengembuskan
napas berat, kemudian memutuskan untuk menyuruh Sae masuk kamarku saja. Aku
terlalu malas untuk keluar dan turun ke ruang tamu.
Setelah
ucapan itu, ibu tidak lagi mengetuk pintu. Dia sepertinya turun mendatangi Sae.
Sebentar kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku lagi. Kali ini, hanya satu
kali dan menyebut nama lengkapku. Aku buru-buru berdiri dan melangkah cepat
hingga belakang pintu. Ketika aku akan meraih gagang pintu, Sae berkata,
tetaplah di balik pintu dan jangan membukanya. Dia bilang, dirinya masih bisa
menyampaikan semua hal yang akan ia utarakan meski terhalang pintu.
Sebentar
kemudian aku menoleh ke bawah, tepat ke ujung pintu kamarku.
“Kamu
boleh diam dan nggak usah bukain pintu ini. Aku akan bicara dari sini aja.”
Mendengar
ucapan itu, membuatku urungkan niat dan, diam. Aku berdiri tepat di balik daun
pintu, sambil posisi tangan yang kuangkat dengan ragu-ragu. Aku masih diam
menunggu. Mungkin, sekarang kami sedang berhadapan, hanya saja terhalang oleh
pintu kayu yang membuat kami tidak bisa saling tatap satu sama lain. Aku tidak
bisa melihat bagaimana ekspresi Sae sekarang, dan tentu Sae tidak tahu aku
sedang apa sekarang.
“Aku juga nggak bakal maksa kamu buat
keluar dan nemuin aku sekarang. Aku nggak punya hak untuk mengatur seseorang.
Terlebih, mempermainkan kehendak manusia. Tapi, yang akan aku lakukan di sini
adalah memperjelas semuanya. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini, Adis.”
Aku masih
berdiri di balik pintu. Aku menatap ke bawah, pintu kamarku berada lima
sentimeter dari lantai keramik, yang membuat ada celah di bawahnya.
“Untuk
semua kejadian yang sudah terjadi dua hari lalu, sebenarnya, aku tidak pernah
menyalahkanmu, dan tidak pernah kecewa dengan hasil yang sudah kamu buat. Aku
juga nggak pernah marah dengan semuanya. Aku nggak tahu kenapa kamu malah pergi
menjauh dan menghindariku.”
Bungkam.
Aku tidak mengucapkan apapun. Bunyi pendingin ruangan terdengar lebih keras.
Deru mesinnya menggema, mengisi gendang telingaku. Mataku terpejam sambil masih
berniat untuk mengangkat tangan;yang pada kenyataanya masih ragu-ragu. Dari
balik pintu, suara napas kami beradu.
“Apa kamu
malu denganku?” katanya di sela keheningan yang melanda.
Hening.
Semua kembali hening.
Keheningan
ini terjadi sampai beberapa saat.
“Jawab
Adis! Apa kamu malu sampai nggak berani natap wajahku? Kenapa sampai sejauh
ini? Kenapa sampai menghindar?”
“Aku...” Ludahku mengalir cepat. Entah apa
yang sebenarnya terjadi. Jika dipikirkan, memang Sae tidak sepenuhnya salah.
Aku juga tidak pernah menyalahkannya atas ketidakhadiran itu. Sejujurnya, semua
itu hanya sebuah kecelakaan. Tapi, tetap saja hal itu membuatku sedikit marah
dan ... malu!
“Aku udah
ingkari janji,” jawabku. Aku tidak tahu kenapa malah kalimat itu yang keluar
dari mulutku. Sae nampaknya diam mendengarkan. Menyadari hal itu, aku lantas
berniat melanjutkan ucapanku.
“Sore itu,
aku berjanji untuk memenangkan perlombaanya buat kamu. Tapi, aku justru gagal,
bahkan sebelum berperang.” Tanganku bergetar. Bayangan dari tubuh Sae di balik
pintu masih sama seperti semula. Dia belum bergerak sama sekali.
“Hanya
karena itu, sampai buat kamu menghindar selama dua hari ini? Hanya karena itu?”
tanyanya dengan nada yang tak kusukai. Aku masih menundukan kepala, menatap
celah pintu bagian bawah. Ada rasa panas yang mulai berkeliaran di kelopak
mata. Aku siap menangis. Cengeng!
“Itu penting
buatku. Itu berarti buatku.”
“Jika
memang penting, kenapa kamu malah mengacaukan semuanya? Kenapa tidak sedikit
saja berjuang sampai aku datang?”
Deg...
Kalimat itu memohokku. Jemari mengepal erat. Rasa sesak menjalar di dada. Sae
berkata seperti itu padaku?
“Bagaimana
aku bisa tahu kalau kamu bakal datang sebelum lomba aku selesai dan lihat aku
pidato? Aku berjuang buat kamu, Sae.”
“Buktinya
aku datang!”
“Tapi
terlambat,” bentakku. Sae diam. Kami sama-sama diam. Sebentar kemudian, embusan
napas di balik pintu terdengar cukup panjang dan keras. Setelah saling adu
mulut cukup keras, keadaan lenggang. Canggung.
“Jadi
semua ini salahku?” tanyanya dengan nada menyesal.
“Eh,
nggk. Bukan. Maksudku....” Aku keceplosan. Sekarang, aku tidak tahu harus
bagaimana merespon. Mulutku terlalu menyebalkan. Aku salah mengucap.
Kudengar
embusan napas Sae dari balik pintu sedikit lebih keras dari sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah kaki. Sae pulang?
“Tunggu,” kataku, kemudian membuka pintu.
Kulihat Sae sudah ada tiga langkah berjalan meninggalkan mulut pintu.
Dia
berhenti, lalu menoleh.
“Kupikir
kamu nggak akan keluar. Dan nggak mau lihat wajahku.”
Setelah
Sae mengatakan itu, hatiku sesak tiba-tiba. Air mataku kembali menggenang di
kelopak mata. Dalam hitungan detik, tanpa membuang waktu lagi, aku berlari ke
arahnya, dan dalam jarak satu langkah kaki, aku melompat sampai memeluk lelaki
bertubuh tinggi itu sambil tenggelam dalam isak tangis.
Kedua
tanganku tertaut di pinggangnya, wajahku terbenam di dada milik Sae. Tubuhku
larut bercampur dengan tubuhnya. Sae masih diam dalam pelukanku, sementara aku
sudah menangis sejadinya.
Aku dapat
merasakan jika Sae mulai menggerakan tangannya untuk membalas pelukanku. Kedua
tangan panjangnya, melingkar di pinggangku sambil berbisik pelan, “Nggak usah
nangis.”
Aku
semakin sesegukan untuk beberapa saat ke depan. Tubuh kecilku masih dikuasai
oleh tangan panjangnya. Aku tahu, dada Sae sudah basa oleh air mata yang tak
bisa lagi kubendung.
Adegan
berpelukan itu terjadi sampai beberapa saat. Suasana hening, membuat
sesegukanku makin keras. Dia membenamkan wajahku makin dalam ke dadanya,
mencoba meredam suara yang keluar dari mulutku. Aroma bayi menyeruak,
menjelajahi lubang hidung.
“Jadi,
sekarang kamu udah ngak marah?” tanyanya, lalu melepas pelukan hangat itu
dariku. Aku yang masih sesegukan, lantas melepas juga pelukan di tubuhnya.
Tanpa menatap langsung manik milik Sae, aku mengangguk.
Dia
sepertinya tersenyum. Aku mencuri pandang untuk menatap bibir tebalnya yang
merekah indah. Setelahnya kuseka air mata dengan kedua tangan, sambil mundur
dua langkah.
“Aku minta
maaf, Adis.”
Aku
menggeleng.
Sesegukan
sambil menahan malu. Aku baru saja menangis di hadapannya. Di pelukannya. Ah,
malu!
“Aku yang
minta maaf. Aku nggak bisa menyelesaikan apapun. Janji kuingkari, lomba pun
gagal. Aku yang minta maaf.” Aku mengucek kelopak mata, dengan terus menyusut
lubang hidung.
“Gak
papa. Tapi ada satu syarat.”
Kontan
saja aku mendongkak menatapnya. Dia menunjukan telunjuk kanannya padaku. Di
bawah senyumnya yang manis, dia mulai mengutarakan apa syarat barusan.
“Gak ada
nangis lagi dan gak ada marah-marahan lagi.”
“Itu dua
syarat,” sergahku cepat. Dia berbohong!
“Intinya
tetap satu! Kamu jangan marah lagi. Itu aja udah cukup.”
Aku hanya
mengangguk. Tangan kecil dan mungilku terangkat, dan meraih tangan milik Sae.
Tak berselang lama, aku menariknya masuk ke kamar. Lebih baik bicara di dalam,
kan daripada berdiri di lorong?
“Seharusnya jangan seperti ini. Kamu bikin aku khawatir.” Sae berjalan
masuk, kemudian melenggang ke arah jendela dan duduk di bangku yang tadi
kugunakan. Sementara aku berjalan gontai menuju kasur, dan duduk di sana sambil
masih menyeka air mata. Sae bersender ke dinding jendela, sambil memerhatikan
suasana di luar.
Dia
khawatir padaku?
Setelah
puas menatap ke luar jendela, dia mengalihkan pandangan pada tumpukan buku yang
tersimpan rapi di sebuah nakas kecil samping ranjang tidurku. Nakas yang
dipenuhi gambar Doraemon.
“Ehm.”
Pemuda itu
tak merespon. Dia anteng menatap tumpukan buku di nakas.
Sae
mengenakan kaos berkerah warna hijau tua, dipadukan dengan celana nepada
selutut warna krem. Dada bidangnya menonjol, membuat Sae terlihat lebih sexy
dari biasanya.
“Aku
terlalu malu. Nggak cukup berani untuk bilang semuanya sama kamu.”
“Kalau
seperti ini, aku yang ngerasa nggak enak. Kamu tahu, semalaman aku nggak bisa
tidur.”
Aku
pura-pura tidak peka dan bertanya, kenapa dia sampai tidak bisa tidur. Sae yang
merasa kesal karena ulahku, lantas bangkit dari bangku dekat jendela dan mulai
duduk di sampingku. Sebelum duduk, dia sempat mengamati bed cover warna
biru dengan gambar Doraemon yang terpasang di ranjangku. Katanya, kamarku
terkesan lucu. Semua dinding dipasangi gambar Doraemon. Aku suka kucing biru
itu.
“Aku nggak
bisa tidur karena mikirin bocah nakal,” katanya sambil menekan hidungku yang
pesek. Dia menariknya ke depan, aku mengaduh kemudian menjitak kepalanya karena
sukses membuat hidungku jadi merah. Dia hanya terkekeh geli.
“Entah kenapa,
aku jadi gerogi dan, ngak tahu harus ngomong apa saat acara itu berlangsung.
Pikiranku ....” Aku menggantung ucapan. Menghentikan perkataanku sebelum
mengatakan hal yang tidak-tidak dan malah kelepasan. Kugigit bibir bawah, dan
menoleh pada Sae yang masih duduk di sampingku.
“Hmm?”
Aku
menggeleng.
“Tapi, aku
bakal tetep kasih kamu hadiah.” Sae memosisikan tubuhnya menghadapku. Sendalnya
ia taruh di atas karpet, yang menjadi dasar lantai ranjangku. Setelahnya,
mengangkat kaki dan duduk sambil melipat kedua kakinya rapi.
“Aku akan
kasih kamu hadiah karena udah mau berjuang sampai berani tampil di depan semua
orang.”
“Tapi aku
gagal ikut lomba. Dan, nggak nepatin janji. Aku nggak pantas dapat hadiah.”
“Kalau
gitu, lain kali pas bikin janji berusahalah untuk menepatinya.” Sae senyum
kuda. Kali ini senyumnya manis sekali.
“Lagipula,
aku harus menepati janjiku.” Sae menaruh kedua tangannya di dada, kepalanya
sedikit miring, lalu manik-manik indahnya menggerling ke atas, dia berpikir.
“Libur
sekolah kita ke pulau, yuk?” katanya setelah berpikir sejenak. Kupikir dia
masih membahas soal hadiah. Ah!
“Ngapain?”
“Liburan.
Kita ngabisin waktu akhir sekolah.”
“Nggak
tahu, deh, yah. Ibuku kayaknya udah ngurusin jadwal buat mudik ke Jawa Timur,
dan aku bakal, eh harus ikut.” Aku duduk dengan posisi sama seperti Sae, hanya
saja kedua tanganku ditaruh di atas kaki-kaki yang bertumpangan.
“Sebelum
ibu bikin semuanya jadi fiks, mending kamu usul aja dulu. Bilang sama
ibu kalau kamu mau main ke pulau.”
“Nanti
aku pikirin, deh.” Aku mengangkat kedua bahu, lalu menggeleng pelan.
“Yaudah
oke. Berarti sekarang udah nggak marah, nih? Jadi aku ajak kamu ke luar, yah!
Aku mau kasih kamu hadiah.” Ketika pemuda itu tersenyum padaku, ada aliran
hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, dan berpusat tepat di hati. Pemuda itu
selalu sukses membuatku senang dengan caranya.
Aku bisa
bilang, kalau aku menyukainya. Jujur saja, aku menyukai Sae, karena jelas dia
sahabatku. Aku juga menyayanginya. Sudah wajar kan jika sahabat saling
menyayangi, dan saling menjaga satu sama lain.
Harusnya,
sih tidak apa-apa. Tapi, aku selalu merasa ada yang aneh. Aku selalu ada rasa
entah apa itu yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Aku tidak mengerti
mengapa hal itu seakan berbeda dengan rasa sayangku terhadap seorang sahabat.
Seakan aku ... mencintainya! Tapi ini tidak wajar. Kami sama-sama lelaki. Cinta
seperti itu tidak akan pernah direstui oleh pihak keluargaku ataupun
keluarganya. Mungkin saja aku keliru. Aku hanya terlalu mengaguminya.
Jika sudah
menyangkut hal yang berhubungan dengan Sae, aku akan dengan sukarela
melakukannya. Bahkan, ketika lomba pidato itu dilakukan. Jika saja aku tak
pernah mengenalnya, mungkin, aku juga tidak akan berani untuk menerima
keputusan Arrani tentang lomba itu.
Dia selalu
berhasil membuatku bertindak lebih dari Adis yang biasa. Meski, pada akhirnya
selalu gagal. Tapi, sosok Sae lah yang selalu bisa membuatku mau mencoba
terlebih dahulu.
“Yaudah,
kalau gitu aku mandi di sini aja. Kita berangkat langsung dari rumah kamu,”
katanya membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap, lantas menggeleng ketika sadar
dia mengatakan akan mandi di kamarku.
Dia
beranjak dari duduknya, lalu menoleh padaku, “Mau ikut?” tanyanya.