I Saed Lupyu [Bagian Empat]




Empat.
    Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Semua media sosial kunonaktifkan. Data dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya padaku.  Terlebih pada Sae.
     Setelah perlombaan hari itu, Aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula, untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung. Rasa marah bergejolak di dalam diri.
     Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan. Aku marah padanya, karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya. Dan, hal kedua adalah, aku merasa malu untuk menunjukan wajahku pada Sae.
     Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran. Mencari di mana posisi motorku berada. Saat aku sudah menemukan sepeda motorku yang terparkir di bawah pohon, dan sudah hampir kugapai, seseorang menarik tanganku.
     Kontan saja tubuhku berhenti. Aku tahu siapa dia. Dengan tanpa menoleh saja, aku bisa mengetahui jika orang yang baru saja menahanku adalah Sae. Aroma bayi yang khas di tubuhnya menyeruak di udara sampai masuk ke lubang hidungku.
     “Adis,” katanya sambil masih menggengam tanganku. Aku menelan ludah dengan kasar.
     “Maaf aku nggak bisa hadir tadi. Aku beneran nggak bisa. Harusnya, aku datang dan nonton kamu pas lomba.” Sae masih memegangi tanganku. Aku belum sedikitpun mengubah posisi tubuhku dari sikap semula.
      “Tapi aku berusaha untuk datang. Aku juga mati-matian cari angkutan buat bisa sampai ke sini. Tapi...”
      “Kamu nggak perlu minta maaf. Yang harusnya minta maaf adalah aku. Karena aku nggak bisa bawain pidato itu dengan baik sesuai apa yang kamu minta.” Ucapanku terasa berat. Aku merasa seperti akan menangis. Sesak di dada tiba-tiba terasa begitu saja. Aku melihat motor di depanku semakin kabur, remang-remang.
      “Lagian, dari awal aku udah nggak yakin bisa bawain pidatonya.” Aku tahu, sekarang mataku sudah mengeluarkan butiran air. Aku menangis.
      “Cuma karena kamu aja aku mau berusaha. Cuma karena janji kita aja aku mau terus berjuang. Tapi, nyatanya aku tetap gagal.”
      Sae melepas tanganku. Aku tersentak saat dia melakukannya, kemudian aku menarik posisi tanganku yang awalnya di belakang sampai kuposisikan sejajar dengan kakiku.
      Beberapa saat setelah aku melakukannya, terdengar satu langkah kaki, dan tiba-tiba saja, tubuh jangkung dan besar milik Sae mendekap punggungku. Kedua tangannya yang panjang itu melingkar di tubuhku.
      “Maafin aku, Adis,” bisiknya dengan nada yang terkesan menyesal.
      Aku tidak bisa melakukan apapun. Aku hanya diam dalam dekapan Sae untuk beberapa saat. Dia terlihat menyesal dengan semuanya. Aku yang masih diam hanya bisa menangis sambil sesegukan.
      Setelah hal itu, aku lantas memintanya untuk melepaskan pelukan, dan bilang, jika aku sedang ingin sendirian. Pada awalnya, dia tidak mendengarku. Lengan panjangnya, terus saja bertautan, mengelilingi tubuhku yang tak lebih tinggi dari pundaknya. Tapi, karena, aku tidak ingin diperlakukan seperti itu untuk sekarang, lantas meronta dan hampir membuat Sae terdorong ke belakang.
      Dia kaget, melepas pelukan, dan mencoba membalikan tubuhku untuk berhadapan dengannya.
     “Nggak, Sae. Tinggalin, aku!” Aku membentak, lantas pergi menghampiri motorku dan mulai melesat meninggalkannya.
      Sejak hari itu, aku tidak mau menerima pesan dari siapapun. Dan dua hari itu pula, aku tidak bertemu Sae. Bukannya apa-apa, aku terlalu malu untuk melihat wajahnya.
      “Adis!!” Seseorang dari balik pintu kamar terdengar. Suara ibu membuyarkan lamunanku yang sedang kunikmati di bawah jendela kamar.
     Ohya, dua hari lalu, Ibu juga menanyakan hal yang sama dengan apa yang Arrani tanyakan padaku dalam whatsapp. Ibu bilang, mengapa aku bisa sampai kehilangan konsentrasi dan kacau saat berpidato. Aku tidak bisa memberitahukan Ibu soal alasan mengapa aku bisa menjadi seperti itu. Bahkan Arrani menyuruhku untuk datang ke sekolah. Anak-anak kelas ingin bicara denganku.
     “Adis. Ada tamu. Keluar dulu sini.” Ibu masih mengetuk pintu. Aku mengerjap, lantas mulai bangkit dari posisi duduk di bawah jendela dan berdiri dengan memegangi kursi belajar; posisinya berada di sampingku.
      Kemarin juga seperti ini. Ibu menyuruhku keluar karena katanya ada tamu. Tapi, aku bersikeras bilang untuk menyuruh tamu itu pulang. Aku tahu sebenarnya yang datang adalah Sae.
      Tapi kali ini, ibu bilang aku harus keluar dulu dan temui tamunya.
      “Bu, suruh pulang saja,” kataku sambil mulai duduk di kursi, menatap ke luar jendela lantai dua kamarku. Dari sini aku bisa melihat rumah tetanggaku yang juga dua lantai. Dari sini juga, aku bisa lihat jalanan yang dilewati beberapa orang komplek.
      “Jangan gitu. Dari kemarin kamu suruh dia pulang. Ayo, ah keluar dulu. Enggak enak sama Nak Sae.”
      Aku menoleh pada pintu. Sudah kuduga jika yang datang memang Sae. Aku mengembuskan napas berat, kemudian memutuskan untuk menyuruh Sae masuk kamarku saja. Aku terlalu malas untuk keluar dan turun ke ruang tamu.
      Setelah ucapan itu, ibu tidak lagi mengetuk pintu. Dia sepertinya turun mendatangi Sae. Sebentar kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku lagi. Kali ini, hanya satu kali dan menyebut nama lengkapku. Aku buru-buru berdiri dan melangkah cepat hingga belakang pintu. Ketika aku akan meraih gagang pintu, Sae berkata, tetaplah di balik pintu dan jangan membukanya. Dia bilang, dirinya masih bisa menyampaikan semua hal yang akan ia utarakan meski terhalang pintu.
      Sebentar kemudian aku menoleh ke bawah, tepat ke ujung pintu kamarku.
      “Kamu boleh diam dan nggak usah bukain pintu ini. Aku akan bicara dari sini aja.”
      Mendengar ucapan itu, membuatku urungkan niat dan, diam. Aku berdiri tepat di balik daun pintu, sambil posisi tangan yang kuangkat dengan ragu-ragu. Aku masih diam menunggu. Mungkin, sekarang kami sedang berhadapan, hanya saja terhalang oleh pintu kayu yang membuat kami tidak bisa saling tatap satu sama lain. Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Sae sekarang, dan tentu Sae tidak tahu aku sedang apa sekarang.
     “Aku juga nggak bakal maksa kamu buat keluar dan nemuin aku sekarang. Aku nggak punya hak untuk mengatur seseorang. Terlebih, mempermainkan kehendak manusia. Tapi, yang akan aku lakukan di sini adalah memperjelas semuanya. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini, Adis.”
      Aku masih berdiri di balik pintu. Aku menatap ke bawah, pintu kamarku berada lima sentimeter dari lantai keramik, yang membuat ada celah di bawahnya.
      “Untuk semua kejadian yang sudah terjadi dua hari lalu, sebenarnya, aku tidak pernah menyalahkanmu, dan tidak pernah kecewa dengan hasil yang sudah kamu buat. Aku juga nggak pernah marah dengan semuanya. Aku nggak tahu kenapa kamu malah pergi menjauh dan menghindariku.”
      Bungkam. Aku tidak mengucapkan apapun. Bunyi pendingin ruangan terdengar lebih keras. Deru mesinnya menggema, mengisi gendang telingaku. Mataku terpejam sambil masih berniat untuk mengangkat tangan;yang pada kenyataanya masih ragu-ragu. Dari balik pintu, suara napas kami beradu.
      “Apa kamu malu denganku?” katanya di sela keheningan yang melanda.
      Hening. Semua kembali hening.
      Keheningan ini terjadi sampai beberapa saat.
      “Jawab Adis! Apa kamu malu sampai nggak berani natap wajahku? Kenapa sampai sejauh ini? Kenapa sampai menghindar?”
      “Aku...” Ludahku mengalir cepat. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Jika dipikirkan, memang Sae tidak sepenuhnya salah. Aku juga tidak pernah menyalahkannya atas ketidakhadiran itu. Sejujurnya, semua itu hanya sebuah kecelakaan. Tapi, tetap saja hal itu membuatku sedikit marah dan ... malu!
     “Aku udah ingkari janji,” jawabku. Aku tidak tahu kenapa malah kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sae nampaknya diam mendengarkan. Menyadari hal itu, aku lantas berniat melanjutkan ucapanku.
      “Sore itu, aku berjanji untuk memenangkan perlombaanya buat kamu. Tapi, aku justru gagal, bahkan sebelum berperang.” Tanganku bergetar. Bayangan dari tubuh Sae di balik pintu masih sama seperti semula. Dia belum bergerak sama sekali.
      “Hanya karena itu, sampai buat kamu menghindar selama dua hari ini? Hanya karena itu?” tanyanya dengan nada yang tak kusukai. Aku masih menundukan kepala, menatap celah pintu bagian bawah. Ada rasa panas yang mulai berkeliaran di kelopak mata. Aku siap menangis. Cengeng!
      “Itu penting buatku. Itu berarti buatku.”
      “Jika memang penting, kenapa kamu malah mengacaukan semuanya? Kenapa tidak sedikit saja berjuang sampai aku datang?”
      Deg... Kalimat itu memohokku. Jemari mengepal erat. Rasa sesak menjalar di dada. Sae berkata seperti itu padaku?
      “Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu bakal datang sebelum lomba aku selesai dan lihat aku pidato? Aku berjuang buat kamu, Sae.”
      “Buktinya aku datang!”
       “Tapi terlambat,” bentakku. Sae diam. Kami sama-sama diam. Sebentar kemudian, embusan napas di balik pintu terdengar cukup panjang dan keras. Setelah saling adu mulut cukup keras, keadaan lenggang. Canggung.
      “Jadi semua ini salahku?” tanyanya dengan nada menyesal.
       “Eh, nggk. Bukan. Maksudku....” Aku keceplosan. Sekarang, aku tidak tahu harus bagaimana merespon. Mulutku terlalu menyebalkan. Aku salah mengucap.
     Kudengar embusan napas Sae dari balik pintu sedikit lebih keras dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah kaki. Sae pulang?
     “Tunggu,” kataku, kemudian membuka pintu. Kulihat Sae sudah ada tiga langkah berjalan meninggalkan mulut pintu.
      Dia berhenti, lalu menoleh.
      “Kupikir kamu nggak akan keluar. Dan nggak mau lihat wajahku.”
       Setelah Sae mengatakan itu, hatiku sesak tiba-tiba. Air mataku kembali menggenang di kelopak mata. Dalam hitungan detik, tanpa membuang waktu lagi, aku berlari ke arahnya, dan dalam jarak satu langkah kaki, aku melompat sampai memeluk lelaki bertubuh tinggi itu sambil tenggelam dalam isak tangis.
      Kedua tanganku tertaut di pinggangnya, wajahku terbenam di dada milik Sae. Tubuhku larut bercampur dengan tubuhnya. Sae masih diam dalam pelukanku, sementara aku sudah menangis sejadinya.
       Aku dapat merasakan jika Sae mulai menggerakan tangannya untuk membalas pelukanku. Kedua tangan panjangnya, melingkar di pinggangku sambil berbisik pelan, “Nggak usah nangis.”
      Aku semakin sesegukan untuk beberapa saat ke depan. Tubuh kecilku masih dikuasai oleh tangan panjangnya. Aku tahu, dada Sae sudah basa oleh air mata yang tak bisa lagi kubendung.
     Adegan berpelukan itu terjadi sampai beberapa saat. Suasana hening, membuat sesegukanku makin keras. Dia membenamkan wajahku makin dalam ke dadanya, mencoba meredam suara yang keluar dari mulutku. Aroma bayi menyeruak, menjelajahi lubang hidung.
      “Jadi, sekarang kamu udah ngak marah?” tanyanya, lalu melepas pelukan hangat itu dariku. Aku yang masih sesegukan, lantas melepas juga pelukan di tubuhnya. Tanpa menatap langsung manik milik Sae, aku mengangguk.
      Dia sepertinya tersenyum. Aku mencuri pandang untuk menatap bibir tebalnya yang merekah indah. Setelahnya kuseka air mata dengan kedua tangan, sambil mundur dua langkah.
      “Aku minta maaf, Adis.”
      Aku menggeleng.
       Sesegukan sambil menahan malu. Aku baru saja menangis di hadapannya. Di pelukannya. Ah, malu!
      “Aku yang minta maaf. Aku nggak bisa menyelesaikan apapun. Janji kuingkari, lomba pun gagal. Aku yang minta maaf.” Aku mengucek kelopak mata, dengan terus menyusut lubang hidung.
       “Gak papa. Tapi ada satu syarat.”
       Kontan saja aku mendongkak menatapnya. Dia menunjukan telunjuk kanannya padaku. Di bawah senyumnya yang manis, dia mulai mengutarakan apa syarat barusan.
       “Gak ada nangis lagi dan gak ada marah-marahan lagi.”
       “Itu dua syarat,” sergahku cepat. Dia berbohong!
       “Intinya tetap satu! Kamu jangan marah lagi. Itu aja udah cukup.”
       Aku hanya mengangguk. Tangan kecil dan mungilku terangkat, dan meraih tangan milik Sae. Tak berselang lama, aku menariknya masuk ke kamar. Lebih baik bicara di dalam, kan daripada berdiri di lorong?
      “Seharusnya jangan seperti ini. Kamu bikin aku khawatir.” Sae berjalan masuk, kemudian melenggang ke arah jendela dan duduk di bangku yang tadi kugunakan. Sementara aku berjalan gontai menuju kasur, dan duduk di sana sambil masih menyeka air mata. Sae bersender ke dinding jendela, sambil memerhatikan suasana di luar.
      Dia khawatir padaku?
      Setelah puas menatap ke luar jendela, dia mengalihkan pandangan pada tumpukan buku yang tersimpan rapi di sebuah nakas kecil samping ranjang tidurku. Nakas yang dipenuhi gambar Doraemon.
       “Ehm.”
      Pemuda itu tak merespon. Dia anteng menatap tumpukan buku di nakas.
      Sae mengenakan kaos berkerah warna hijau tua, dipadukan dengan celana nepada selutut warna krem. Dada bidangnya menonjol, membuat Sae terlihat lebih sexy dari biasanya.
      “Aku terlalu malu. Nggak cukup berani untuk bilang semuanya sama kamu.”
      “Kalau seperti ini, aku yang ngerasa nggak enak. Kamu tahu, semalaman aku nggak bisa tidur.”
      Aku pura-pura tidak peka dan bertanya, kenapa dia sampai tidak bisa tidur. Sae yang merasa kesal karena ulahku, lantas bangkit dari bangku dekat jendela dan mulai duduk di sampingku. Sebelum duduk, dia sempat mengamati bed cover warna biru dengan gambar Doraemon yang terpasang di ranjangku. Katanya, kamarku terkesan lucu. Semua dinding dipasangi gambar Doraemon. Aku suka kucing biru itu.
      “Aku nggak bisa tidur karena mikirin bocah nakal,” katanya sambil menekan hidungku yang pesek. Dia menariknya ke depan, aku mengaduh kemudian menjitak kepalanya karena sukses membuat hidungku jadi merah. Dia hanya terkekeh geli.
      “Entah kenapa, aku jadi gerogi dan, ngak tahu harus ngomong apa saat acara itu berlangsung. Pikiranku ....” Aku menggantung ucapan. Menghentikan perkataanku sebelum mengatakan hal yang tidak-tidak dan malah kelepasan. Kugigit bibir bawah, dan menoleh pada Sae yang masih duduk di sampingku.
      “Hmm?”
      Aku menggeleng.
      “Tapi, aku bakal tetep kasih kamu hadiah.” Sae memosisikan tubuhnya menghadapku. Sendalnya ia taruh di atas karpet, yang menjadi dasar lantai ranjangku. Setelahnya, mengangkat kaki dan duduk sambil melipat kedua kakinya rapi.
      “Aku akan kasih kamu hadiah karena udah mau berjuang sampai berani tampil di depan semua orang.”
      “Tapi aku gagal ikut lomba. Dan, nggak nepatin janji. Aku nggak pantas dapat hadiah.”
      “Kalau gitu, lain kali pas bikin janji berusahalah untuk menepatinya.” Sae senyum kuda. Kali ini senyumnya manis sekali.
      “Lagipula, aku harus menepati janjiku.” Sae menaruh kedua tangannya di dada, kepalanya sedikit miring, lalu manik-manik indahnya menggerling ke atas, dia berpikir.
      “Libur sekolah kita ke pulau, yuk?” katanya setelah berpikir sejenak. Kupikir dia masih membahas soal hadiah. Ah!
      “Ngapain?”
      “Liburan. Kita ngabisin waktu akhir sekolah.”
      “Nggak tahu, deh, yah. Ibuku kayaknya udah ngurusin jadwal buat mudik ke Jawa Timur, dan aku bakal, eh harus ikut.” Aku duduk dengan posisi sama seperti Sae, hanya saja kedua tanganku ditaruh di atas kaki-kaki yang bertumpangan.
       “Sebelum ibu bikin semuanya jadi fiks, mending kamu usul aja dulu. Bilang sama ibu kalau kamu mau main ke pulau.”
       “Nanti aku pikirin, deh.” Aku mengangkat kedua bahu, lalu menggeleng pelan.
       “Yaudah oke. Berarti sekarang udah nggak marah, nih? Jadi aku ajak kamu ke luar, yah! Aku mau kasih kamu hadiah.” Ketika pemuda itu tersenyum padaku, ada aliran hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, dan berpusat tepat di hati. Pemuda itu selalu sukses membuatku senang dengan caranya.
      Aku bisa bilang, kalau aku menyukainya. Jujur saja, aku menyukai Sae, karena jelas dia sahabatku. Aku juga menyayanginya. Sudah wajar kan jika sahabat saling menyayangi, dan saling menjaga satu sama lain.
     Harusnya, sih tidak apa-apa. Tapi, aku selalu merasa ada yang aneh. Aku selalu ada rasa entah apa itu yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Aku tidak mengerti mengapa hal itu seakan berbeda dengan rasa sayangku terhadap seorang sahabat. Seakan aku ... mencintainya! Tapi ini tidak wajar. Kami sama-sama lelaki. Cinta seperti itu tidak akan pernah direstui oleh pihak keluargaku ataupun keluarganya. Mungkin saja aku keliru. Aku hanya terlalu mengaguminya.
      Jika sudah menyangkut hal yang berhubungan dengan Sae, aku akan dengan sukarela melakukannya. Bahkan, ketika lomba pidato itu dilakukan. Jika saja aku tak pernah mengenalnya, mungkin, aku juga tidak akan berani untuk menerima keputusan Arrani tentang lomba itu.
     Dia selalu berhasil membuatku bertindak lebih dari Adis yang biasa. Meski, pada akhirnya selalu gagal. Tapi, sosok Sae lah yang selalu bisa membuatku mau mencoba terlebih dahulu.
     “Yaudah, kalau gitu aku mandi di sini aja. Kita berangkat langsung dari rumah kamu,” katanya membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap, lantas menggeleng ketika sadar dia mengatakan akan mandi di kamarku.
      Dia beranjak dari duduknya, lalu menoleh padaku, “Mau ikut?” tanyanya.

I Saed Lupyu [Bagian Tiga]


Tiga.

     Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali, bahkan aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit.

     Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.

     Sae percaya, bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan, membuatku semakin termotivasi. Meski, itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.

     Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah. Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di teras kantin membuat fokusku buyar beberapa kali. Belum lagi cekikikan anak gadis di ujung kantin dekat dengan tiang kolom warna hijau. Mereka menggangu!

      Saat aku mencoba untuk kembali fokus dari semua keributan yang ada, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Line-ku berkedip. Sambil masih menghafal satu-dua kata, aku mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu bercat hijau untuk kuperiksa Line-ku. Dengan perasaan menggebu, aku berharap yang mengirimiku pesan adalah Sae. Di saat-saat seperti ini, pesan darinya adalah sebuah moodbooster.

      Nyatanya, harapanku tidak berujung manis. Orang yang mengirim line itu adalah ibuku. Dia bilang, akan datang saat lomba diadakan. Tidak langsung kubalas pesan itu, hanya diam termenung sambil memikirkan sesuatu. Aku pikir, ibu atau pun ayah tak pernah kuberitahu soal lomba ini!?

     “Adis, buruan, masuk!” Seseorang membuyarkan semua teka-teki yang baru saja terrangkai di otakku. Aku menoleh ke asal suara, dan di ujung pintu masuk kantin, ada Arrani yang sudah berdiri dengan kedua tangan di taruh di pinggang.

     Gadis itu selalu saja memiliki aura menyeramkan. Entah mengapa, meski dia menggunakan hijab yang membuat sebagian wanita terlihat sejuk dan menenangkan, justru malah membuat Arrani terlihat memiliki aura aneh serta menyeramkan. Matanya melotot.

     “Iya. Aku datang.” Aku memasukan ponsel tanpa membalas pesan ibu, kemudian berlari menghampiri Arrani. Sesampainya di hadapan gadis paras cantik berhati iblis itu, kemudian ia menyerahkan nomor urut untukku. Katanya, perwakilan kelas sudah melakukan runding untuk urutan tampil. Tapi karen aku tidak ada, jadi dia yang menggantikanku.

     “Nomor lima? Baguslah. Nggak terlalu cepet dan nggak terlalu lama juga,” kataku sambil menerima nomor itu darinya. Dia sempat berpesan jangan terlalu gerogi, cukup bersikap seperti saat latihan dan biarkan semuanya mengalir alami. Aku mengangguk lalu melenggang meninggalkannya.

     “Ingat soal hukuman!” teriaknya lagi. Aku tidak peduli.

      Ketika aku sampai di belakang panggung, ternyata sudah banyak orang juga. Mereka membawa selembaran kertas, sama sepertiku. Kebanyakan yang ikut adalah perempuan. Hanya ada dua peserta lelaki selain aku. Di ujung ruangan, tepat di samping tumpukan steropom, lelaki bertubuh gendut sedang asyik membaca naskah di tangannya, sementara lelaki lainnya-yang memakai kacamata- sedang berbincang dengan salah satu gadis di belakang layar.

      Aku melenggang memasuki area, untuk lebih dekat ke belakang panggung. Sesampainya di sebuah bangku panjang terbuat dari kayu, aku mulai duduk. Tak lama, lelaki gendut tadi melenggang ke arahku, mendekati layar.

      “Tegang,” ucapnya. Aku hanya mengangguk diiringi senyuman canggung.

      Tak berselang lama, suara dari kepala sekolah terdengar. Dia menyampaikan beberapa sambutan dan, pembukaan. Aku tidak terlalu mendengarkan. Batinku bilang, fokuslah untuk berlatih. Aku pun mulai mengeluarkan naskah yang sempat kulipat dan dimasukan ke saku untuk kubaca ulang. Hari ini aku harus menang demi Sae.

      Jika ingat soal Sae, otomatis saja, semua terasa menjadi menggebu. Aku selalu dibuat deg-degan sendiri hanya dengan menyebut namanya saja. Apalagi, kalau sampai dia datang ke perlombaan ini dan menyemangati langsung, seperti yang biasa dia lakukan dua hari ini.

     Aku menaruh kertas yang sedang kuhafalkan, lantas merogoh saku untuk mencari ponselku. Aku memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Sekaligus, mengurangi semua ketegangan yang sedari tadi menghinggapiku.

     “Sae,” kataku dalam pesan, lantas kukirim, diikuti sebuah stiker melambaikan lima jari.

     Tidak memakan waktu sampai satu menit, dia membalas pesanku diawali stiker beruang yang kepalanya penuh dengan tanda tanya, baru kemudian dia menanyakan kenapa aku mengirimi pesan.

     Sebenarnya, aku tidak usah mengirim pesan pada Sae di saat seperti ini. Tapi, aku selalu gugup dan gerogi bahkan sebelum semua ini dimulai. Ketika aku bisa berbicara dengan Sae, meski hanya lewat Line, itu sudah membuatku sedikit lebih baik.

“Kamu datang?”

“Agak telat. Kamu urutan ke berapa?”

“Dapat nomor lima. Masih keburu kayaknya. Kamu di mana?”

“Bentar lagi sampe. Aku lagi dapet masalah. Banku bocor.”

     Ketika membaca pesan itu, aku sedikit terkejut dan, membuatku agak down. Aku langsung berpikir jika dia tidak akan bisa sampai tepat waktu sebelum aku tampil nanti.

“Yaudah, aku tunggu. Harus datang!”

“Oke.”

     Setelah itu, aku kembali menutup ponsel. Membaca lagi naskah pidato dan menghafal semuanya agar acaranya lancar seperti yang kuharapkan.

**

     Peserta yang sudah tampil di urutan sebelum aku, menampilkan semua pidatonya dengan baik. Bahkan, hampir semuanya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Di depan sana, ada seorang gadis dari jurusan IPS 4 yang sedang membacakan pidatonya. Aku mengintip dari balik layar panggung. Dia terlihat sangat lihai dan menikmati pidato yang dibawakannya.

     Seketika saja, rasa gerogi menghinggapiku lagi. Keringat dingin mulai keluar di seluruh tubuh. Aku merasakan sakit perut tiba-tiba. Padahal, bagianku saja belum dimulai, tapi aku sudah ciut duluan.

     Saat aku menatapi peserta nomor empat di depanku itu, tiba-tiba saja aku teringat ucapan Sae sehari yang lalu, saat kami berada di depan lapangan. Dia memberitahuku, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saat itu, hari sudah semakin sore, aku dan Sae memutuskan untuk lebih lama berada di sekolah sambil berlatih naskah pidatoku.

     Sore itu, hanya ada aku dan Sae di depan lapangan voli yang biasa digunakan untuk pertandingan antar kelas. Sae duduk di kursi kayu warna hijau, tepat di bawah pohon mangga sambil memerhatikan, sementara aku berdiri di dekat tiang net sembari meneriakkan pidato tanpa kertas naskah itu dengan lantang.

     Semburat jingga sukses menyinari tubuhku dari arah barat. Aku bisa melihat Sae tersenyum sambil masih mengangkat dua jempolnya ke arahku. Aku tahu dia memujiku, padahal pada kenyataanya, aku masih terus saja salah saat membaca pidato bahasa Inggris ini.

     Ketika aku benar-benar merasa tidak sanggup untuk menghafal semuanya, dan bilang pada Sae untuk menghentikan semua kegiatan ini, lantas pemuda itu bangkit dari duduknya dan berlari menghampiriku.

     Dia terlihat marah dan meraih menunjukan kertas pidato di tangannya padaku.

     Aku bilang, bahasa Inggris terlalu sulit untuk kuhafalkan. Dia lantas melipat kertas di tangannya, kemudian menaruh kedua tangan di bahuku. Kami saling tatap. Aku yang merasa payah dan malu dengan kemampuan diri sendiri, juga merasa telah menodai kepercayaan Sae padaku, hanya bisa menolehkan pandangan ke arah lain tanpa berani menatap kedua bola matanya langsung.

     “Denger, Adis! Ini adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang harus kamu selesaikan. Apa kamu mau lari dari semua ini? Orang-orang percaya sama kamu,” katanya, sembari masih memegangi bahuku. Aku masih tak berani menatap kedua bola matanya.

     “Kamu juga udah berjanji sama aku untuk menang lomba. Terus, kamu mau jadi pecundang dan lari dari semua tanggung jawab?” Dia lalu mengarahkan tangannya untuk meraih pipiku dan memosisikan wajahku untuk lurus menatapnya. Aku yang diperlakukan seperti itu hanya bisa mengigit bibir sambil memberanikan diri menatapnya.

     “Aku nggak sehebat kamu, Sae. Aku nggak seberani kamu. Pidato ini nggak bisa aku selesaikan!”

     “Nggak ada yang nggak bisa selama kamu mau berlatih dan terus berusaha.”

     “Buktinya, aku nggak bisa hafalin semua ini dengan benar.” Aku kembali membuang pandangan ke sisi lain. Sae berusaha lagi mengembalikan tatapanku untuk saling berhadapan dengannya.

     “Kamu bisa! Aku tahu itu. Kalau kamu nggak bisa, nggak mungkin kamu akan berdiri di sini dan bacain naskah pidato ini kayak tadi tanpa nyontek. Aku tahu kamu bisa,” tegasnya sambil menguatkan pegangan tangan di pipiku. Sorot mata Sae menyalurkan semacam aura aneh yang membuatku sedikit nyaman di bawah ketidakmampuan yang aku rasakan.

     “Tapi, Sae....”

      “Kita udah sama-sama berjanji. Kamu harus menepatinya,” katanya lagi dengan tatapan  penuh penegasan. Aku yang tak bisa apa-apa hanya menatapnya dengan terus menggigit bibir bawah. Sebentar kemudian, aku mengangguk.

      Aku mengembuskan napas berat untuk membuat diriku setenang mungkin menghadapi situasi sekarang. Untuk kedua kalinya, sakit perut itu muncul. Beberapa kali aku memejamkan mata sambil terus mengatur napas agar merasa rileks.

      Di saat embusan terakhirku habis, saat itulah tepuk tangan dari semua orang yang hadir di  acara lomba ini terdengar, membuat suasana yang tadinya hening karena semuanya menikmati acara menjadi ramai.

     Aku mengintip lagi dari balik tirai, sambil menatapi satu per satu orang yang datang. Dari bangku urutan kedua, di posisi sebelah kanan tempat di mana semua orangtua hadir, ada ibuku yang masih sibuk bermain ponsel. Dia benar-benar datang.

     Tapi, aku tidak bisa melihat di mana Sae. Apa mungkin ban motornya masih belum selesai diperbaiki?

     Saking seriusnya mencari di mana Sae duduk, sampai-sampai aku tidak sadar jika peserta nomor empat sudah keluar dari balik tirai. Dia sempat menabrakku yang masih duduk anteng mengintip.

     “Eh, ada orang?” Dia agak mundur sedikit setelah tahu menabrak seseorang. Aku kemudian sadar dan mundur. Sebentar kemudian, gadis itu keluar dari balik tirai.

      “Kamu ngak apa-apa?” tanya lelaki tambun yang tadi duduk di kursi kayu itu. Aku yang berdiri di dekatnya hanya menoleh lantas mengangguk.

      “Semangat, ya?” ucap gadis bernomor urut empat padaku. Aku menatapnya, lalu mengangguk diiringi senyum.

**

     Tepuk tangan bergemuruh ketika aku masuk melewati tirai. Semua orang terlihat antusias ketika mereka melihatku memasuki panggung. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi ini benar-benar membuatku kembali merasa gerogi. Tegang.

     Dari ujung barisan, di dekat pintu aula depan, di bawah pengeras suara, ada anak-anak dari jurusanku. Di sana mereka berteriak sambil menyebut namaku keras-keras. Ada Arrani juga yang berdiri dengan kedua tangan ditaruh di depan dada. Dia tersenyum. Kali ini, senyumya manis dan sedikit membuatku tenang.

     Aku melangkah perlahan tapi pasti menuju standing mix sambil terus berusaha untuk tenang. Setelah posisiku mantap, aku berdiri tegap dengan tatapan lurus ke depan. Menyaksikan semua orang yang duduk di hadapanku.

     Aku sempat memerhatikan keadaan sekitar. Aula ini terlihat lebih sempit dari biasanya. Entah karena banyaknya orang yang memenuhi ruangan;membuat ruangan sebesar ini menjadi terlihat lebih kecil, atau memang kapasitas aula yang tidak bisa menampung orang sebanyak ini.

     Kualihkan pandangan dari orang-orang yang hadir ke deretan foto yang terpasang rapi di dinding. Di sana, terpampang semua gambar siswa berprestasi yang sempat mengharumkan nama sekolahan. Di deretan foto itu juga, aku bisa melihat Sae sedang tersenyum dengan sebuah piala di tangannya. Dia menjadi perwakilan sekolah waktu itu.

     Melihat hal itu, aku jadi teringat pada Sae yang masih belum juga aku lihat sedari tadi. Kontan saja, yang kucari sekarang adalah dia. Mataku memindai satu per satu orang yang ada. Mereka menatapku heran. Mungkin, lebih tepatnya, mempertanyakan tentang tindakanku yang masih belum juga membuka salam.

     Saat aku masih sibuk mencari, seorang MC berdeham pelan. Aku tersadar, lantas menoleh.

     Aku berdeham pelan sambil memosisikan mix di depanku agar lebih nyaman digunakan. Setelah semuanya merasa siap, juri-juri yang duduk berbaris di bagian paling depan mempersilakanku sambil memencet sebuah tombol pada sebuah kotak berupa benda penghitung waktu.

     Ludahku meluncur cepat ke tenggorokan.

     Go---good Morning, all.”

     Semua orang serempak menjawab. Di samping Arrani, ada satu orang yang terus mengacungkan kepalan tangan ke arahku. Dia melotot sejadinya dengan tatapan mengancam. Tak mau menanggapi lelaki aneh itu, kemudian aku kembali fokus pada pidato.

    Aku sempat menggeleng pelan, mencoba fokus mengucapkan salam pembukaan. Setelahnya, kuembuskan napas perlahan sampai merasa lega. Belum apa-apa, aku sudah kehilangan fokus. Melihat semua tatapan penonton, sukses membuat nyaliku terkikis.

    Honorable ones; the principle of, of....

     Kakiku bergetar.

    Aku memejamkan mata, mengingat kata apa lagi yang akan kuucapkan setelahnya. Awalnya, semua orang terdiam ketika aku mulai gugup. Sebentar kemudian, mulai memberikan tepuk tangan. Mereka meneriaki namaku. Kontan saja, aula ini menjadi ramai oleh suara tepuk tangan. Hal itu justru memperburuk keadaan.

     Pejamku semakin kuat ketika gerogi semakin menggelayuti seluruh tubuhku. Pikiranku berkecambuk. Aku mengingat banyak hal saat ini. Mengingat tentang kegagalan. Mengingat tentang semua orang yang datang. Mengingat semua harapan yang teman-teman gantungkan padaku. Juga, mengingat tentang ... Sae!

     And all my friends in XII, X and XI grade”

     “First of all, let ussss... Peeeraise to the Almighty God, because of His Blessing weeeee.... We are able to gather here, to attend a farewell ceremony for the students of SMA Angkasa, XII grade in academic year 2017-2018.

    Aku hampir saja salah menyebutkan nama sekolahku. Dalam pejam yang ke sekian kali, aku kembali menggali kalimat apa yang akan diucapkan selanjutnya.

     My friends, in ... in---in... this good opportunity, I stand here to resep---represent all the students of SMA Angkasa. Grade XII to give a valedictory speech.”

      Di hitungan dua detik setelah mengutarakan kalimat tersebut, aku membuka mata, lantas mulai menoleh ke deretan foto yang ada di dinding aula. Satu foto yang menjadi fokus utamaku adalah milik lelaki bernama Saelandra. Dia tersenyum ke arahku. Tersenyum lewat foto.

    “On the behalf of all students XI grade.”

    “There are so many things ttt---that that that that I i i i want to say here to express ho ho how thankful we are. I can't  i can’t i ican’t find a word to express this tears of joy of...”
Tanganku mengepal erat, merutuki diriku sendiri. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Ayolah, Adis, tenang!

    “... remembering all mem... mee.... memories that we have been through during this past three years. All we wwa---ant to say is we are proud to belong here, to study here and to meet all great teachers that we have ever met.” 

     Tubuhku sudah dikuasai gerogi. Gugup. Tubuhku, bergetar lagi.

    Semua kata-kata yang kuucapkan tadi, mengingatkanku pada perjuangan Sae yang sudah meluangkan waktunya untukku dua hari ini. Sae yang dengan semua ketegasannya, membimbingku untuk terus berjuang, memberikan semua yang kupunya untuk pidato ini. Sae juga, yang sudah memberikanku harapan, ketika aku sudah tidak mau memperjuangkan lagi pidato Bahasa Inggris ini.

     Mataku masih jelalatan mencari keberadaan pemuda beraroma bayi itu. Tapi, kenapa, di saat semua yang sudah kupersiapkan untuk hari ini, dia malah tidak datang. Sae tidak hadir di saat aku tampil untuknya?

     Fokusku buyar. Aku tidak bisa menjaga konsentrasi. Diriku yang paling dalam hanya menginginkan satu hal, yaitu Sae. Kehadirannya, adalah satu-satunya yang kuinginkan.

     Jika, semua yang aku siapkan untuk dirinya selama dua hari ini tak dapat Sae lihat, untuk apa aku terus berjuang? Toh, di awal saja aku sudah merasa putus asa. Satu-satunya tujuanku untuk memang adalah demi Sae. Jika dia tidak datang, masih bisakah aku berjuang?

     Aku mematung di tempat. Lidahku seakan kelu. Otakku tak mampu lagi menggali kata apa yang akan kuucapkan selanjutnya. Suasana terasa canggung. Atmosfer yang tidak mengenakan ini menyebar ke seluruh ruangan. Semua orang yang tadi sempat bertepuk tangan, kini mulai cengo, termasuk Ibu.

     Aku masih diam. Kedua bola mataku bisa melihat Ibu yang sedang duduk dengan tatapan penuh tanda tanya. Jika saja aku bisa paham apa yang dia pancarkan dari raut wajahnya, mungkin akan seperti ini, Kamu kenapa Adis? Lanjutkan pidatonya!

     “We would like to ssss---say th---th---thank you vvvvvvery much for all the tttt---teachers....”

     We ... W....”

     Aku mengacak rambut. Dari ekor mataku, dapat kulihat salah satu juri masih menaruh satu tangannya di atas benda penghitung waktu. Waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi, dan aku baru saja mengucapkan seperempat isi dari pidato yang Sae tulis.

     Semua juri saling pandang, mereka sepertinya tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.

     Waktu lima menitku terbuang sia-sia.

     Berbagai ingatan kembali berputar di kepalaku. Aku memejamkan mata, dengan tangan yang terus bergetar. Tubuhku menggigil. Seluruh kulit terasa dingin dan dipenuhi keringat. Telingaku terasa menangkap bunyi jarum penghitung waktu itu semakin berdengung. Makin keras sampai aku merasa dikelilingi oleh semua hal mengerikan.

     Aula yang kudiami terasa berubah menjadi bangunan lenjong. Semua orang yang hadir seakan menatapku dengan wajah mengejek, termasuk tatapan ibu yang terlihat menyeramkan. Aku bersikeras untuk mengingat. Menggali semua ingatan saat latihan bersama Sae. Berusaha menggali semua kenangan manis yang bisa kujadikan obat di saat seperti ini.

     Bunyi jantungku semakin keras. Detak jantungnya terasa terpompa lebih cepat. Aku kaget sejadinya ketika sebuah suara terdengar membuyarkan semua rasa takut yang mengelilingi.

     “Ananda Adis, saudara tidak apa-apa?” tanya MC padaku. Wanita berpakaian formal serba hitam itu menatapku sedikit khawatir. Keadaan lengang. Tak ada satu suara pun yang kutangkap selain bunyi jantung yang makin terpompa kencang.

     Aku tidak tahu harus apa sekarang. Semuanya sudah terjadi. Untuk mundur saja, aku tidak bisa. Jika pun aku kembali sekarang, semua orang akan mengingatku sebagai orang yang gagal dalam pidato. Tapi, jika aku masih bersikeras untuk melanjutkan, aku tidak tahu, apa yang harus kuucapkan. Aku sudah sepenuhnya lupa dengan naskahku.

      Pada kenyataanya, berbicara di depan orang itu bukan saja sekadar hafal apa yang harus dibawakan. Tapi juga harus mempersiapkan semua aspek yang lain. Mengasah kekuatan mental misalnya. Dua hari ini aku terlalu fokus untuk bisa menghafal naskah pidato, tanpa sadar jika kesiapan mental sama pentingnya dengan hafalan naskah.

      Aku mematung.

      “Sa---Sa....” Aku gugup. Mataku masih menoleh pada orang-orang di depan. Kulihat waktu yang tersisa tinggal empat puluh detik.

      “Say---Sa...,” Aku menoleh pada wanita itu sambil menelan ludah.

      Sangat sulit untuk mengucapkan, saya sudah tidak bisa lagi melanjutkannya. Hanya itu saja. Itu terlalu sulit untuk diutarakan. Entah apa yang mengganguku kali ini.

      Wanita berpakaian formal itu menautkan kedua alis matanya. Dia menatapku dengan penuh tanda tanya, sementara aku masih berusaha untuk bilang, kalau aku sudah menyerah. Wanita itu kemudian menoleh pada juri yang duduk di bawah panggung. Dia meminta pendapat soal keputusan selanjutnya.

      Salah satu juri mengangkat tangan. Kontan saja itu membuatku terkejut sejadinya. Tindakan itu membuat jantungku kembali terpompa. Aku siap dinyatakan gagal!

      Ludah dengan cepat meluncur lagi. Kutarik standing mix dan kucoba utarakan lagi.

      “Sa...” Di saat aku benar-benar akan mengucapkannya, dengan tanpa sengaja, mataku menoleh ke arah pintu masuk aula bagian depan, tepat di mana semua teman-temanku duduk. Di sana, aku melihat sosok pemuda yang baru saja datang dengan napas yang masih sesenggal. Dia berdiri dengan dada yang naik turun.

     Napasnya berderu sambil menatap ke arahku. Setelah menelan ludahnya dengan kasar, dia kemudian menarik napas cukup panjang dan, dalam hitungan ke sekian detik, dia meneriakkan namaku dengan keras. Dia memberiku kalimat yang sedari tadi kutunggu-tunggu, Adis, aku datang untuk semua kerja kerasmu. Berjuang! Aku tahu kamu bisa!

     Semua orang yang mendengar itu sontak saja menoleh serempak ke asal suara. Aku yang senang dengan kehadirannya, lalu tersenyum sambil menggigit bibir bawahku. Rasa senangku benar-benar tak terbendung kali ini.

     “Sae,” teriakku, melanjutkan ucapan sebelumnya yang sempat tertunda. Yang pada kenyataanya, bukan kata itulah yang seharusnya keluar dari mulutku.

     Dia mengangkat satu tangannya yang mengepal, memberi tanda bahwa dia datang untukku. Bibirnya merekah lebar. Aku bisa melihat aliran semangat yang Sae pancarkan dari raut mukanya.

     Tanpa membuang waktu lagi, kutarik kembali standing mix dan siap kembali memulai pidato. Tapi, ketika aku baru saja akan memulai, salah satu juri mengangkat kedua tangan di depan wajahnya dengan membentuk pola X, yang artinya waktuku untuk berpidato sudah habis.

      Sialan!



Pembacaku

Etiketler

Labels

Iklan

About

Blog untuk One shoot, Novel, Cerpen dan karya tulis lainnya.

Karya Tulis

Karya anak BANGSA

Fly Like a Wind

Weekly most viewed